Respons Hidung

Kamis 22-07-2021,05:40 WIB
Reporter : Disway Kaltim Group
Editor : Disway Kaltim Group

DARI begitu banyak reaksi soal ”Cuci Hidung” (Disway, 19 Juli 2021: Protokol Rakyat), ada tulisan seorang dokter ahli THT yang cukup panjang. Tulisan itu dikirim ke saya lewat ketua IDI Surabaya: Dr dr Brahmana.

Nama ahli THT itu Budi Sutikno. Saya membacanya dengan teliti. Ia sangat kompeten. Ia spesialis THT-KL, konsultan rinologi.

Dokter Budi juga mengajar di Departemen Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala dan Leher di Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga. Juga, berdinas di RSUD dr Soetomo, Surabaya.

Maka, saya pun memperhatikan respons itu. Dan menggunakannya untuk tulisan hari ini.

”Protokol Rakyat cuci hidung dengan larutan garam fisiologis itu telah dikenal dan digunakan sejak zaman Hindu kuno,” tulis dr Budi. Sebutannya jala neti. Yaitu, larutan garam fisiologis yang dimasukkan ke salah satu lubang hidung dengan bantuan teko kecil.

Itu disebut garam fisiologis karena konsentrasi larutan garam setara (isotonis) dengan konsentrasi cairan tubuh: praktis berada di konsentrasi garam 0,9 persen.
Konsentrasi kurang dari itu (hipotonis) berpotensi merusak selaput lendir (hidung). Konsentrasi lebih dari itu (hipertonis) berpotensi merusak selaput lendir secara reversible (sementara). Bisa juga irreversible (permanen) seiring dengan meningkatnya konsentrasi.

”Penggunaan cuci hidung seperti itu juga telah dipakai di dunia medis,” tulis dr Budi. Itu didukung banyak penelitian ilmiah.

Itu bagian dari upaya menjaga kesehatan hidung dari penyakit-penyakit flu, infeksi saluran napas atas, dan sebangsanya.

”Pasien sinusitis yang menderita alergi hidung atau pascaoperasi hidung juga memakai cara itu,” tulis dr Budi.
Itu, katanya, telah bertahun-tahun dijalankan. Bukan baru dalam 2 tahun terakhir.

Menurut dr Budi, pasien Covid-19 bisa diasumsikan mendapat manfaat dari pola hidup sehat tersebut. ”Namun, hingga saat ini, WHO belum menyatakan bahwa penggunaan cuci hidung dengan larutan garam fisiologis dapat menyembuhkan infeksi Covid-19,” katanya.

Semua komentar dr Budi itu dibenarkan drh Indro, si ”penemu” Protokol Rakyat. ”Memang bukan saya yang menemukan NaCl kadar 0,9,” ujar drh Indro. ”Saya menemukan cara melepas virus Covid-19 dari mukosa di hidung dengan NaCl 0,9,” tegas drh Indro.

Ada juga reaksi yang mengingatkan saya: drh Indro itu sudah bukan anggota IDHI –IDI-nya dokter hewan. Lalu, melampirkan surat PB IDHI tentang keanggotaan itu.

Juga, yang menyatakan bahwa pendapat drh Indro adalah tanggung jawab pribadinya.
Kepada pengirimnya itu, saya jawab dengan guyon: orang seperti drh Indro tidak peduli dengan segala macam formalitas seperti itu. Jangankan keanggotaan. Gelar S-2 dari University of Adelaide saja tidak ia ambil.
Yang Indro pedulikan hanya rokok. Sejak di SMAN 3 Semarang ia sudah merokok. Katanya: ketularan teman sekolah. Sampai sekarang.

Di musim Covid ini pun istrinya tetap mengizinkan Indro merokok. Agar bahagia. Agar imunnya naik.
Itu kata-kata istrinya sendiri. Yang kelihatannya ikut nimbrung bicara di telepon sang suami. Sang istri, sesama mahasiswa kedokteran hewan UGM, masih terdengar bicara sambil mendekat ke HP sang suami: Mas Indro itu pemberontak!

Dia wanita Jogja. Dari Parangtritis.
Saya pun membesarkan hati Indro –setengah meledeknya: banyak orang yang sedang olahraga meninggal, tapi belum ada orang yang sedang merokok meninggal.

Tags :
Kategori :

Terkait