Bankaltimtara

Dari Ulama Sampai Akademisi: Tolak Soeharto Sebagai Pahlawan Nasional

Dari Ulama Sampai Akademisi: Tolak Soeharto Sebagai Pahlawan Nasional

Mustasyar Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Ahmad Mustofa Bisri (Gus Mus).-istimewa-

Penolakan juga disampaikan Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA).

BACA JUGA:7 Kasus Tuntas dengan Restorative Justice di Kejari Balikpapan Hingga Oktober 2025

Dalam pernyataan resmi KIKA, pemberian gelar ini bukan hanya bentuk pengkhianatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan demokrasi, tetapi juga merupakan luka baru bagi korban pelanggaran HAM berat yang terjadi di masa Orde Baru.

"Pemerintahan Orde Baru meninggalkan warisan buruk berupa budaya KKN, pembungkaman kebebasan pers, dan pelemahan institusi demokrasi. Di bawah rezim Soeharto, kekuasaan dijalankan dengan kekerasan negara, pembungkaman kebebasan berpikir, dan praktik korupsi yang sistemik," tulis KIKA melalui pernyataan resminya.

Selain pelanggaran HAM, Transparency International (2004) menobatkan Soeharto sebagai pemimpin paling korup di dunia, dengan estimasi penggelapan dana publik sebesar US$15–35 miliar.

Sehingga bagi KIKA, wacana pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto juga menciptakan kontradiksi moral yang mendalam.

Di sisi lain, Marsinah, buruh perempuan yang menjadi simbol perjuangan keadilan dan kebebasan berserikat, serta menjadi korban kekerasan negara pada era Orde Baru, juga diusulkan menjadi pahlawan nasional oleh Kementerian Sosial.

BACA JUGA:Usul Bahlil Lahadalia: Seluruh Mantan Presiden RI Dapat Gelar Pahlawan

"Menjadikan Soeharto sebagai pahlawan sementara Marsinah adalah korban dari sistem represif yang ia bangun, adalah bentuk ironi sejarah dan penghinaan terhadap perjuangan kemanusiaan."

Karena itu KIKA menuntut 4 hal terkait rencana pemberian gelar pahlawan bagi Soeharto.

Pertama, menolak secara tegas wacana pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto.

Kedua, menuntut Negara harus mengakui dan menyelesaikan pelanggaran HAM masa lalu, serta memberikan keadilan kepada para korban.

Ketiga, menegaskan pentingnya memori sejarah dan kebebasan akademik untuk mencegah distorsi dan glorifikasi pelaku pelanggaran HAM. Pendidikan sejarah harus mencerminkan kebenaran dan tidak memutihkan pelanggaran masa lalu.

Keempat, mengajak civitas akademika dan masyarakat sipil mempertahankan semangat reformasi dan menolak normalisasi kekuasaan otoriter.

Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News

Sumber: