Teknologi Informasi sebagai Alat Perang

OLEH: RAHMADHANIAH PUTRI*
Meluasnya pengaruh globalisasi membuat teknologi informasi menjadi semakin berkembang. Di era modern ini, semakin banyak negara mulai memanfaatkan hal tersebut. Ancaman seperti perang dirasa sudah tidak relevan lagi dalam kehidupan saat ini. Perubahan ini membawa dampak yang sangat signifikan dalam berdiplomasi antar negara. Diplomasi yang lama atau tradisional mulai tergantikan dengan diplomasi modern. Salah satu faktor pendukung adanya model diplomasi modern ini adalah berkembangnya teknologi. Teknologi ini pun dapat mengubah cara para aktor dalam mengambil keputusan.
Dikutip dalam CNBC Indonesia, India telah memblokir setidaknya 59 aplikasi yang dibuat oleh China seperti TikTok, WeChat, Shareit, Kwai, Weibo, dan lain sebagainya. Hal ini dilakukan bukan tanpa alas an. India melakukannya sebagai bentuk perlawanan dan protes atas meninggalnya 20 tentara India karena bentrokan di daerah Perbatasan Himalaya. India mengatakan, aplikasi buatan China ini dianggap menerobos kedaulatan dan integritas negara.
TikTok menjadi salah satu pemasukan negara yang dimiliki China dalam bidang ekonomi digital. Memang tidak dapat dimungkiri bahwa hal tersebut dapat terjadi. Dampak dari globalisasi dan perkembangan teknologi adalah memudarnya batas-batas negara. Seluruh warga dunia dapat dengan mudah mengakses berbagai informasi dan kejadian aktual di seluruh dunia. Tren TikTok dan berbagai sosial media yang saat ini meluas membuat masyarakat menggunakannya tak hanya sebagai hiburan. Namun juga sebagai bentuk penyampaian pendapat.
Contohnya pada saat Presiden Donald Trump gagal mengumpulkan massa dalam masa kampanye pertamanya. Pihak penyelenggara kampanye Trump melakukan pendaftaran kampanye secara daring lewat ponsel. Rencana ini pun merambah ke aplikasi TikTok dan para penggunanya.
Dikutip dari CNBC Indonesia, postingan mengenai pemesanan tiket pun menyebar dan mulai mengumpulkan massa dari TikTok dan Twitter. Mereka memang memesan tiket kampanye tersebut. Namun tidak menghadiri acara kampanye. Akibatnya, kampanye dihadiri hanya 6.100 orang.
Salah satu aktor di balik gagalnya kampanye Trump ini adalah para K-popers yang sekaligus pengguna Twitter dan TikTok. Menurut AFP, tradisi K-pop saat ini pun ikut turut andil dalam menyuarakan perihal kebijakan yang bernuansa politis. Bahkan penggemar K-pop pun ikut mengooptasi tagar #WhiteLivesMatter dan lebih menunjukkan citra K-pop seperti spam foto dan video perihal Kpop. Untuk menutupi hastag rasisme yang pada saat itu sangat viral.
Dilihat dari kejadian ini, teknologi tak hanya menjadi alat untuk manusia dalam berkomunikasi dan mempermudahkan pekerjaan. Namun juga mempermudah manusia menyampaikan pendapatnya. Media sosial menjadi alat penyampaian pendapat sekaligus mengumpulkan massa yang memiliki pemikiran yang sama secara mudah di balik ketikan keyboard. Aktivitas menyampaikan pendapat lewat sosial media bukanlah suatu hal yang salah, justru semakin memberikan masyarakat platform yang luas untuk memenuhi salah satu hak mereka.
Di lain sisi, teknologi pun bisa menjadi senjata untuk mematikan perekonomian suatu negara maupun perusahaan multinasional. Seperti yang dilakukan oleh AS yang memutuskan kerja sama dengan Huawei (salah satu perusahan telekomunikasi milik China) sejak 2019. AS menggunakan alasan keamanan nasional sebagai bentuk pemutusan kerja sama tersebut. Hubungan kerja sama seperti Google dan Intel pun otomatis terputus dengan Huawei.
Dikutip dari CNN Indonesia, lisensi pelarangan kerja sama Huawei dengan Amerika akan terus diperpanjang hingga Mei 2021. Akibat kebijakan tersebut, Huawei mengalami kerugian hingga $ 12 miliar. Huawei pun tidak dapat menggunakan fitur yang dimiliki oleh Google. Namun sebagai gantinya, Huawei menggunakan Huawei Mobile Service (HMS). Sebagai pengganti Google. Untuk mendukung perangkat mereka.
Walau begitu, Huawei tetap mempertahankan kestabilannya. Dilansir dari Fortune, kelompok bisnis konsumen Huawei yang meliputi penjualan laptop, smartphone, dan tablet, memimpin perusahaan dalam pertumbuhan pendapatan tahun lalu. Naik 34 persen menjadi $ 66 miliar.
Hal ini selaras dengan pernyataan Huawei atas respon dari pelarangan AS. Bahwa pelarangan ini akan memberikan kerugian lebih banyak kepada AS. Dibuktikan dengan Amerika yang mengalami kerugian sebesar Rp 156 triliun atau setara dengan $ 11 miliar akibat pemutusan kerja sama tersebut.
Dari peristiwa di atas, dapat dilihat bahwa perang teknologi pun sangat mempengaruhi jalannya perekonomian negara. Saat ini, teknologi menjadi salah satu tulang punggung perekonomian bagi negara maju. Yang tentu memiliki perkembangan teknologi yang sangat pesat. (*Mahasiswi Hubungan Internasional Universitas Islam Indonesia)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: