Tantangan Pembinaan Mahasiswa di Era 4.0
OLEH: ARIEF ADHIKSANA*
Salah satu unsur yang kemudian menjadi tonggak perubahan pola kehidupan dunia adalah revolusi industri. Revolusi industri telah banyak mengubah pola kehidupan dunia. Ia terus berkembang hingga saat ini. Dalam tahapan revolusi industri, sudah memasuki tahap keempat atau yang biasa disebut dengan revolusi industri 4.0. Revolusi tahap ini ditandai dengan terjadi proses digitalisasi dari semua proses industri hingga ke lini kehidupan. Saat ini, industri maupun dunia pendidikan sedang memasuki era yang tidak bisa diprediksi atau yang biasa disebut dengan VUCA sebagai dampak utama dari revolusi industri 4.0.
VUCA merupakan akronim untuk Volatile (bergejolak), Uncertain (tidak pasti), Complex (kompleks), dan Ambiguity (tidak jelas). Berisikan gambaran situasi di dunia masa kini. Hidup di lingkungan VUCA membutuhkan kemampuan untuk beradaptasi secara cepat dan efisien. Dengan perubahan yang cepat. Setiap orang dituntut untuk adaptif dan kreatif. Kita melihat bagaimana banyak industri sedang bertransformasi di VUCA era ini. Salah satu contoh VUCA adalah hadirnya fenomena transportasi online, belanja online, hingga yang terbaru new normal akibat pandemi COVID-19.
Fenomena revolusi industri 4.0 ini membawa banyak pengaruh. Baik positif maupun negatif bagi masyarakat. Semua pola kehidupan akhirnya menuju era digitalisasi. Dan dampak itu juga dirasakan bagi dunia pendidikan tinggi. Karenanya, harus ada upaya baru untuk menghadapi tantangan yang sudah tidak lagi sama. Adalah bodoh rasanya jika tantangan yang berbeda-beda, tetapi kita menghadapi dengan cara yang sama. Harus ada terobosan dalam mempersiapkan peserta didik: mahasiswa sebagai calon tenaga kerja.
Salah satu upaya yang bisa terus ditingkatkan adalah pola pembinaan mahasiswa. Pembinaan mahasiswa selama ini sering dilihat dari sisi akademik semata. Sementara mahasiswa merupakan peserta didik yang harus dilihat utuh. Tidak hanya prestasi akademiknya. Tetapi juga sisi lain: attitude atau yang biasa disebut soft skill. Inilah ruang kosong yang belum teroptimalkan dalam proses pembelajaran mahasiswa.
Kita perlu mengubah cara pandang kita terhadap mahasiswa sebagai input bahan baku dunia pendidikan. Memandang mahasiswa sebagai sebuah kesatuan yang utuh. Tidak lagi terpisah antara hard skill dengan soft skill. Cara pandang yang sekadar melihat mahasiswa sebagai peserta didik yang harus dibina hard skill-nya saja sudah tidak relevan lagi di zaman seperti ini.
Di sisi lain, sudah ada berbagai hasil temuan dalam dunia psikologi yang dapat dimanfaatkan untuk menghadapi era 4.0 ini. Khususnya pola pembinaan mahasiswa. Ada berbagai upaya yang bisa dilakukan berbasis temuan-temuan psikologi yang terbaru tersebut. Salah satunya temuan tentang growth mindset yang dipopulerkan oleh profesor dari Stanford University bernama Carol S. Dweck. Dalam bukunya berjudul Mindset: The New Psychology of Success.
BERBAGAI UPAYA
Pertama, mulailah perubahan dari mindset. Intisari proses pendidikan pada dasarnya sama di semua jenjang. Mulai dasar hingga perguruan tinggi: perubahan pola pikir atau mindset. Dan temuan hasil penelitian dunia psikologi mengatakan, pusat perubahan seseorang itu ada di mindset. Upaya mengubah perilaku hanya efektif dilakukan jika mengubah mindset-nya.
Kedua, membangun insfrastruktur laboratorium leadership. Biar bagaimana pun, kita harus fokus menciptakan lulusan berkarakter leader. Kalau pun mereka tidak menjadi leader, maka minimal menjadi follower yang baik. Harus ada konsep baru bagaimana leadership itu dibangun secara terukur. Itu dapat dilakukan dengan membangun infrastruktur laboratorium kepemimpinan. Insfraskturtur bisa berupa aturan hirarki kepemimpinan dalam organisasi mahasiswa maupun pola pembelajaran leadership.
Ketiga, intergrasikan soft skill dalam kurikulum. Sudah saatnya soft skill menjadi bagian dari kurikulum pendidikan tinggi. Saya yakin pentingnya soft skill telah diketahui bersama. Pertanyaannya, sejauh mana soft skill ini menjadi perhatian dalam proses pembelajaran? Integrasi dalam kurikulum adalah solusinya. Dengan adanya integrasi ini diharapkan soft skill benar-benar menjadi bagian dalam proses pendidikan tinggi.
Keempat, tumbuhkan minat baca dan menulis ilmiah. Rasanya aneh jika kampus tidak menjadi sumber inspirasi untuk menghasilkan karya ilmiah. Kita perlu secara serius mengurai langkah-langkah untuk menumbuhkan semangat atau minat ilmiah di kampus. Salah satunya bisa berupa pelatihan penulisan karya ilmiah yang berbasis outcome. Pelatihan ini akan memliki outcome berupa proposal penelitian yang siap diajukan dalam berbagai hibah kompetisi ilmiah.
Kelima, ciptakan mahasiswa berprestasi. Salah satu nilai tambah sebuah institusi pendidikan bisa dilihat dari adanya mahasiswa berprestasi. Karenanya, jangan hanya menunggu siswa berprestasi untuk bergabung dengan kampusnya. Tetapi “ciptakan” mahasiswa berprestasi. Ini jauh lebih menantang daripada hanya sekadar “menunggu”. Langkah “penciptaan” itu bisa dimulai dengan mengetahui bakat/minat/passion mahasiswa yang baru masuk.
Keenam, bermitra dengan UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa). UKM adalah unit tersendiri di lingkup mahasiswa yang bisa diajak bersinergi dengan institusi. Bahkan outcome institusi akan lebih cepat terwujud jika bersama-sama dengan UKM. Mereka memiliki sumber daya yang jika dikelola dengan tepat, maka akan memberikan dampak yang besar bagi kemajuan institusi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: