Korupsi sebagai Kutukan Sumber Daya Alam

Korupsi sebagai Kutukan Sumber Daya Alam

OLEH: TONI KUMAYZA*

Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim) masuk dalam kebijakan nasional Master Plan Perluasan dan Percepatan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) 2011-2025 sebagai Pusat Produksi dan Pengolahan Hasil Tambang & Lumbung Energi Nasional.

Kaltim memiliki 72,2 persen sumber daya batu bara dari Pulau Kalimantan. Berdasarkan laporan Jatam, Kaltim menjadi daerah yang paling masif menerbitkan Izin Usaha Pertambangan (IUP): 1.143 atau 40 persen dari total izin nasional 2.870. Dari 1.143 IUP Kaltim, Kabupaten Kutai Kartanegara (Kukar) memiliki 625 IUP atau 54 persen. Jumlah produksi batu bara dari Kaltim pada 2017 sebanyak 82,87 juta ton. Dengan Kukar sebagai produsen terbesar 65,11 juta ton.

DAMPAK PERTAMBANGAN

Data pembangunan Kukar sebagai produsen batu bara terbesar di Kaltim menunjukkan kontribusi pertambangan bagi Produk Domestik Regional Bruto(PDRB) sepanjang 2011-2015 rata-rata 78,8 persen (RPJMD 2016-2021). Produksi batu bara dimaksudkan meningkatkan pendapatan dan pertumbuhan ekonomi. Agar dapat membiayai sejumlah proyek pembangunan. Namun sebagaimana tercermin dalam Indeks Eksploitasi Ekonomi (IKE), kekayaan alam belum mampu dikelola untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat meski Kukar memiliki IKE yang tinggi selama 2015-2017.

Indeks ini menunjukkan, “eksploitasi ekonomi” oleh pemerintah atau investor yang diestimasi dengan membandingkan PDRB per kapita dengan pengeluaran konsumsi per kapita. IKE dalam tiga tahun terakhir sebesar 99 persen. Artinya setiap PDRB naik sebesar 100 persen, proporsi yang dinikmati rakyat Kukar hanya 1 persen. Hal ini berarti juga menunjukkan, income gap antara kaya dan miskin sangat tinggi. Yang berdampak timbulnya rasa ketidakadilan dan kecemburuan sosial antar masyarakat.

Menurut Kuncoro (2010), justru Kaltim termasuk provinsi yang mengalami pertumbuhan tanpa pembangunan. Tingginya IKE membawa implikasi kasus sosial dan lingkungan pada kabupaten produsen batu bara ini.

Beberapa temuan di antaranya: BPS Kaltim mencatat penduduk miskin terbesar berada di Kukar sebanyak 55.820 jiwa atau 26,21 persen dari total penduduk miskin di Kaltim pada 2016; Dinas Kesehatan Kaltim mencatat, Kukar penyumbang terbesar Angka Kematian Ibu  (AKI) sebanyak 32 Kasus dari total 240 per 100, dan Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Kukar mencatat hutang biaya pembangunan pada 2017 kepada kontraktor mencapai 245 miliar.

Selain itu, Jatam mencatat ada 1.735 lubang tambang tanpa reklamasi dan terbesar 842 berada di Kukar. Jumlah korban tenggelam pada lubang tambang sepanjang 2011-2019 sebanyak 35 jiwa. Sebanyak 12 kasus terjadi di Kukar; Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyatakan, 16.385 orang terdampak banjir dan longsor di Kukar yang terjadi selama 5-11 Juni 2019; Aktivitas tambang dekat pemukiman di Kecamatan Loa Janan menyebabkan jalan nasional penghubung Kota Tenggarong dan Kota Balikpapan longsor. Jalan umum penghubung Kecamatan Sanga-Sanga dan Muara Jawa longsor beserta 11 rumah warga berikut 41 jiwa mengungsi, dan aktivitas pertambangan di Desa Mulawarman oleh PT KPUC dan JMB  menyebabkan 3.000 jiwa direlokasi. Aktivitas tambang tersebut menghilangkan sumber air dan mengakibatkan alih fungsi lahan pertanian. Dari 526 hektare sawah menjadi 12 hektare. 

Kajian lain menguatkan hal tersebut dikeluarkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Atas dampak kegiatan pertambangan pada 2013. Sebagaimana dimuat laman media nasional pada 2016, mengungkapkan, kerugian yang dialami akibat pertambangan di sejumlah daerah mencapai ribuan triliun.

Khusus Kukar, nilai kerugiannya mencapai Rp 581,43 triliun. Net Present Value (NPV) natural capital di Kukar lebih besar. Yaitu Rp 990,19 triliun. Dibandingkan NPV operasional pertambangan yang hanya Rp 408,75 triliun. Hal itu berarti, ada selisih minus ratusan triliun di Kukar yang dianggap sebagai kerugian besar bagi lingkungan, kesehatan masyarakat sekitar, serta kerusakan sosial dan ekonomi.

KUTUKAN SDA

Dampak Sumber Daya Alam (SDA) dan pengaruhnya terhadap pengembangan finansial telah menjadi bidang penelitian penting dalam beberapa dekade terakhir. Beberapa peneliti mencoba untuk menguji hipotesis “kutukan SDA”. Zhang, dkk (2020) dalam Journal Resources Policy menggunakan data Tiongkok untuk periode 1987-2017. Mereka menghasilkan temuan menarik. Produksi SDA mempengaruhi perkembangan finansial secara negatif. Setiap peningkatan 1 persen produksi SDA justru menghambat pengembangan finansial sebesar 0,10 persen-0,21 persen. Temuan ini menegaskan hipotesis adanya kutukan SDA.

Riset ini juga menemukan variabel pengonversi agar korelasi produksi SDA bernilai positif terhadap pengembangan finansial. Yaitu setiap peningkatan produksi SDA harus mampu meningkatkan sumber daya manusia, inovasi teknologi, dan transparansi tata kelola SDA.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: