Relevansi Puasa dan Pengamalan Pancasila

Relevansi Puasa dan Pengamalan Pancasila

OLEH: SYAMSUDDIN*

Puasa sebagai bagian dari rukun Islam merupakan ibadah yang memiliki banyak manfaat bagi manusia. Khususnya kaum muslimin. Selain dinilai sangat besar manfaatnya bagi kesehatan, puasa juga memiliki kandungan nilai transendental dan nilai imanen.

Pada sisi transendental, pengamalan ibadah puasa seyogianya dapat meningkatkan kadar keimanan seorang muslim. Karena setiap hari di bulan Ramadan seseorang dapat melakukan ibadah sunnah lainnya seperti tadarus Alquran, mengikuti kajian-kajian ilmu Islam, salat sunnah, dan ibadah lainnya yang dapat dilakukan untuk menambah pahala di bulan suci Ramadan.

“Puasa itu untukku dan Aku yang akan memberi kemulian (ganjaran)-Nya,” demikian hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari. Ini adalah bukti bahwa Allah SWT memberikan ganjarannya secara langsung kepada orang-orang yang berpuasa. Maka di bulan suci Ramadan, kita menyantap seluruh sajian pahala yang diberikan oleh Allah SWT secara langsung.

Menurut para ulama, puasa adalah riyadha. Yakni latihan atau pendidikan. Maka puasa berfungsi sebagai laboratorium segala sesuatu yang berhubungan dengan aspek kedirian yang diuji. Baik kejiwaan, rasionalitas, maupun indrawi manusia. Sebelas bulan lamanya kita telah mengarungi kehidupan dengan segala kondisi kejiawaan kita, hidup dalam pusaran libido dan ilusi yang membuat kita hidup tanpa kesadaran.

Dengan ibadah puasa di bulan suci Ramadan yang didukung dengan beragam aktivitas ibadah lainnya dapat melatih serta mendidik kita agar mampu menemukan sebuah kesadaran objektif atas keesaan Allah SWT dalam diri kita maupun dalam ruang bernegara.

Sila pertama yang berbunyi Ketuhanan Yang Maha Esa dapat dijadikan sebagai prinsip kesadaran bersama yang bisa kita capai dengan ibadah puasa.

Selain itu, ibadah puasa juga memiliki sisi imanensi. Maksudnya, ibadah puasa tidak terkait aspek transeden saja. Melainkan juga meliputi aspek sosial. Ibadah puasa sebagai sebuah ritual yang melatih manusia untuk sampai pada kesadaran objektif ketuhanan. Kemudian kesadaran objektif tersebut menjadi landasan atau prinsip atas terbentuknya moral: baik moral individu maupun moral bersama.

Bentuk pengamalan puasa yang bisa kita tuai ialah lahirnya moral bersama dalam spirit sosial. Setelah berpuasa tiga puluh hari lamanya menahan lapar dan dahaga, kita semestinya mendapati kesadaran kemanusiaan. Nilai-nilai kemanusian menjadi asas atas cara kita hidup berdampingan dengan selalu tolong menolong dan mengasihi tanpa mengenal agama, suku, dan ras. Asas kemanusiaan tanpa melihat golongan ini adalah cara kita meletakkan keadilan yang bermuara kepada peradaban.

Ketika ketuhanan menjadi dasar dan kemanusiaan telah menjadi asas, puasa juga melahirkan spirit persatuan. Ego kita sebagai manusia yang memiliki beragam perbedaan terhadap sesama lainnya diuji dan dilatih dalam ibadah puasa. Menahan lapar dan dahaga adalah salah satu cara memanagemen ego kita. Bahkan tradisi sebelum dan sesudah memasuki bulan suci Ramadan biasa didahului dengan membangun tali silaturahmi dan bermaaf-maafan. Guna membersihkan kerikil kecil kesalahan dan kekhilafan supaya ibadah puasa menuai keberkahan. Untuk itulah Idulfitri (lebaran) menjadi momentum dan simbol kemenangan. Kemenangan atas ego yang mampu dikelola untuk menuai tali persatuan.

Selain tali persatuan, ibadah puasa dapat membuat kita menjadi bijaksana (arif) dan hari-hari kita di bulan Ramadan dilingkupi berbagai hikmah. Kita berharap setelah melaksanakan ibadah puasa dapat mengarungi kehidupan kita dengan bijak dan penuh hikmah. Tidak mudah terprovokasi oleh apa pun yang belum jelas validitas dan kebenarannya.

Terakhir, kita bisa melatih dan mendidik diri kita selama berpuasa untuk dapat menegakkan keadilan yang menyeluruh. Dengan menunaikan zakat di bulan Ramdan. Baik zakat fitrah maupun zakat mal. Ini dapat memberikan keadilan kepada sanak saudara kita sebagai penerima zakat. Inilah hikmah puasa yang bisa kita temukan dan menuainya serta mengamalkannya pasca bulan Ramadan: baik secara mandiri maupun kolektif.

Jika disederhankan, maka kita bisa menuai hikmah puasa dalam pengamalan Pancasila. Untuk mencapai kesadaran kelima sila itu bisa kita tuai dari aktivias ritual berpuasa. Ibadah puasa yang mampu meningkatkan keimanan, kemanusiaan, persatuan, kebijaksanaan, dan keadilan. Karena itulah agama Islam tidak bertentangan dengan Pancasila. Justru dengan beragama, kita ingin mencapai dan mengamalkan filosofi pancasila. (*Praktisi Pendidikan Kalimantan Timur)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: