May Day, Antara Kesosialan dan Covidiot

May Day, Antara Kesosialan dan Covidiot

SEPERTINYA ada yang berbeda dengan perayaan May Day tahun ini. Pada setiap 1 Mei di seluruh dunia diperingati sebagai Hari Buruh Internasional dengan sebutan May Day. Biasanya May Day selalu identik dengan berbagai kegiatan yang melakukan mobilisasi dan pengumpulan massa dalam jumlah besar, seperti unjuk rasa/demonstrasi atau kegiatan lainnya yang dilakukan oleh para Pekerja/Buruh (Serikat Pekerja/Buruh). Kepedulian dan Solidaritas untuk mendukung gerakan pekerja/buruh semacam itu agak sulit dilakukan dalam May Day tahun ini. Ini bukan karena perayaan May Day tahun ini bertepatan dengan Puasa Ramadan yang sedang dijalani oleh Umat Islam, tetapi juga adanya kedaruratan kesehatan masyarakat yang sedang meresahkan dunia, yakni COVID-19. Berkaitan dengan itu, Presiden mengeluarkan Keputusan Presiden (Kepres) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Coronavirus Disease 2020 (COVID-19) sejak 31 Maret 2020. Pandemi COVID-19 ini menjadi sebuah fenomena baru yang mengejutkan di luar kelaziman yang sedang dialami umat manusia. Karena penularannya yang sangat mudah, cepat dengan penyebaran yang sangat luas, dan telah menimbulkan banyak korban jiwa di seluruh dunia. Menghentikan berbagai aktivitas yang selama ini menjadi rutinitas dan kenormalan manusia. Selain berdampak pada masalah kesehatan yang mengancam jiwa manusia, pandemi ini juga menimbulkan perlambatan ekonomi yang tajam, sehingga berdampak pada kesejahteraan masyarakat dan kesinambungan dunia usaha. Hal ini terlihat dari penurunan pendapatan masyarakat, penurunan permintaan/konsumsi, peningkatan pengangguran, dan potensi kerugian/kebangkrutan (pailit) pada pelaku dunia usaha. Dalam situasi sulit seperti ini, dengan pertimbangan untuk menjaga kelangsungan usahanya, perusahaan dapat saja melakukan berbagai upaya efisiensi dengan cara merumahkan pekerja/buruh atau bahkan melakukan PHK. Sehingga berpotensi banyak masyarakat yang akan kehilangan pekerjaan dan penghasilan. Terjadinya lonjakan pengangguran dan meningkatnya angka kemiskinan di setiap daerah. Bisa menjadi masalah baru. Jika pada awal kehadiran COVID-19, solidaritas, perhatian, kepedulian dan empati umat manusia hanya berfokus kepada setiap orang yang terjangkit. Karena selain cepat penularannya, wabah ini dapat menyebabkan kematian. Termasuk kepada para Petugas Medis (Tenaga Kesehatan) yang berjuang dan berjibaku pada garda terdepan. Mereka adalah pahlawan. Namun jangan lupa pula terhadap nasib karyawan yang dirumahkan dan terancam PHK tanpa penghasilan yang jelas. Ini harusnya menjadi isu utama dalam melakukan refleksi May Day tahun ini. Jika pada tahun-tahun sebelumnya solidaritas perjuangan pekerja/buruh lebih disandarkan pada kesadaran kelas pekerja untuk melawan bentuk dehumanisasi dan eksploitasi dalam masyarakat kapitalistik, maka peringatan May Day tahun ini, harusnya dapat didorong untuk membangun solidaritas yang lebih luas, yaitu membangun solidaritas kemanusian yang melampaui kepentingan kelas. Tanpa memandang gender, ras, suku, usia, agama, kelas sosial, kewarganegaraan dan lain-lain. Solidaritas semacam ini membuat semua orang mampu merasakan kesulitan pekerja/buruh yang dirumahkan atau di PHK. Terjadi penurunan penghasilan atau mungkin tanpa penghasilan sama sekali. Sementara itu, tidak ada yang dapat memastikan sampai kapan penyebaran Pandemi (COVID-19) ini akan berakhir. Bisa saja 1 (satu) bulan, 3 (tiga) bulan, 6 (enam) bulan atau mungkin saja 1 tahun, atau lebih? Artinya dapat dibayangkan suatu keluarga yang harus bertahan hidup dan memenuhi kebutuhannya tanpa adanya kepastian penghasilan atau kepastian sampai kapan berakhirnya. Mereka melewati puasa dan Hari Raya Idulfitri dalam keadaan tanpa memperoleh penghasilan, alih-alih mendaptkan Tunjangan Hari Raya (THR). Mungkin ini akan menjadi puasa dan Idulfitri terburuk yang pernah dihadapi oleh para pekerja/buruh yang terdampak tersebut. Apalagi jika Pandemi (COVID-19) masih akan terus berjalan dalam beberapa bulan ke depan. Apakah mereka masih tetap sanggup bertahan? Dapat dibayangkan, sebuah kota yang dipenuhi oleh orang tanpa adanya kepastian penghasilan. Berjumlah ribuan. Sangat berpotensi meningkatnya kriminalitas dan tindak kejahatan. Atau bahkan berpotensi menimbulkan kerusuhan sosial atau huru-hara. Dalam hal ini peran pemerintah menjadi penting. Selama Pandemi COVID-19 ini, para Pemimpin Negara hingga para Pemimpin Lokal di daerah dipaksa berpikir keras dan melakukan kerja-kerja dalam pencegahan dan pengendalian Pandemi. Dari cara penanganan wabah ini, setiap pemimpin pada wilayahnya masing-masing dapat dinilai dan diukur kemampuan leadership-nya, kepedulian dan tanggungjawab sebagai pemimpin serta kecerdasanya dalam mengatasi masalah. Namun tidak semua daerah memiliki pemimpin pemerintahan yang cerdas, peduli dan bertanggungjawab, sehingga ada daerah yang dengan serius dan rasa tanggung jawab melakukan segala daya upaya, berjibaku dan bergerak cepat untuk berusaha melakukan pencegahan dan pengendalian pandemi di wilayahnya. Namun bisa juga ada pemimpin pemeritahan di daerahnya yang terkesan santai dan abai dalam menangani masalah ini. Oleh karena itu, selain berharap pada pemimpin pemerintah maka sangat diperlukan juga keterlibatan solidaritas warga kota untuk peduli dan mengulurkan tangan kepada pekerja/buruh yang terdampak. Pandemi ini, juga telah memaksa kita untuk memikirkan ulang konsep kesosialan yang selama ini telah kita terima dan telah kita anggap sebagai sesuatu yang sudah benar sejak awal. Pada keadaan normal (sebelum Pandemi COVID-19 terjadi), konsep kesosialan yang ada dalam kehidupan masyarakat sehari-hari biasanya dijewantahkan dalam bentuk perbuatan tolong-menolong, cinta kasih, kesetiakawanan, persahabatan, toleransi, solidaritas, gotong royong, perjuangan, pengorbanan, komitmen, berbakti, pengabdian, kesetiaan, loyalitas, kebersamaan, persatuan, konsensus dan hal lainnya yang berhubungan dengan sosial. Konsep kesosialan yang bersifat Altruisme telah membentuk tipe Manusia Sosial yang memiliki kebutuhan yang besar untuk berhubungan dengan sesama manusia (hidup bersama dengan orang lain), yang mau mengabdikan diri pada kepentingan bersama. Karena nilai yang dipandang sebagai nilai tertinggi olehnya adalah cinta terhadap sesama, dan yang sangat mengutamakan nilai-nilai sosial. Ciri manusia sosial ini dapat terlihat jelas pada diri setiap orang yang senang berkorban, senang mengabdi, mencintai masyarakat, pandai bergaul, simpatik, memandang persoalan dari hubungan antar manusia, dan lebih mementingkan kepentingan umum. Jelas semua konsep kesosialan ini berdiri diametral dengan berbagai hal yang bersifat anti sosial seperti egoisme. Dalam keadaan normal, Manusia Sosial ini akan sangat responsif dan peduli terhadap berbagai kesusahan, penderitaan, bencana, musibah, ketidakadilan dan lain-lain. Biasanya mereka akan terjun langsung, hadir sebagai relawan, bergabung dengan manusia-manusia sosial lainnya untuk melakukan aksi-aksi, tindakan kemanusiaan atau tindakan solidaritas lainnya. Namun ada hal yang unik dalam Pandemi COVID-19, konsep kesosialan semacam itu mungkin menjadi tidak relevan lagi. Jika setiap Manusia Sosial tersebut langsung turun terlibat memberi pertolongan secara langsung maka mungkin saja mereka dapat menjadi bagian dari penularan dan penyebaran wabah. Oleh karena itu mungkin bentuk kesosialan/kepedulian yang tepat dengan menahan diri untuk tidak banyak berinteraksi dan berkumpul secara fisik dengan orang lain, serta menjaga jarak (physical distancing) sehingga kita tidak berkontribusi dalam penyebaran pandemi. Dalam Pandemi COVID-19 telah terjadi pembalikan posisi/inversi konsep kesosialan, karena dalam kondisi saat ini untuk menjadi manusia sosial, mungkin malah dapat dilakukan dengan tidak berinteraksi sosial. Menjadi soliter. Karena dengan menyendiri kita malah menjadi manusia sosial. Bisa jadi ketika kita nekat berkumpul (berinteraksi sosial) secara fisik, maka kita akan menjadi manusia egois dan anti sosial. Sehingga mungkin tidak ada dasar kebenaran/kebaikan atau kesosialan yang dapat dijadikan alasan pembenar untuk kita memaksakan diri. Mengumpulkan atau berkumpul dengan orang lain. Bahkan sekalipun dengan alasan teologi, alasan kesosialan, alasan solidaritas apa pun. Karena dengan berkumpul atau mengumpulkan banyak orang ternyata kita sedang membahayakan orang lain dan itu berarti kita telah menjadi egois dan anti sosial. Disinilah konsep tentang manusia sosial itu berubah dan mengalami inversi. Manusia sosial itu justru manusia yang tidak melakukan interaksi sosial atau yang mengambil jarak dengan manusia lain. Namun, apakah jika kita tidak melakukan interaksi sosial secara fisik dengan orang lain maka kita tidak menjadi manusia sosial? Ternyata kesosialan manusia pada saat ini, bukan terletak pada interaksi sosial/berkumpul dengan orang lain atau kehadiran secara fisik, tetapi juga dapat diukur dari perhatian/kepedulian dan rasa tanggungjawab seseorang untuk terlibat/mengambil bagian walau pun tanpa kehadirannya secara fisik. Hal ini dimungkinkan dan terjawab dengan kemajuan Teknologi Informasi dan Komunikasi saat ini. Sehingga kepedulian dan kesosialan dapat dilakukan secara online. Jika dalam dunia kerja dikenal dengan WFH (Work From Home) mungkin dalam kesosialan dapat juga diperkenalkan istilah CFH (Care From Home). Suatu bentuk kesosialan dan kepedulian yang dibangun atas dasar kesadaran kita dengan menjaga jarak. Bahkan, saat ini telah muncul sebuah kosa kata baru yang dikenal dengan Covidiot, yaitu sebutan bagi orang yang bebal dalam menyikapi Pandemi COVID-19 dan juga sebutan bagi para penimbun. Dapat dijelaskan, Covidiot adalah orang bodoh yang menimbun belanjaan, menyebarkan ketakutan yang tidak perlu dan merampas persediaan vital orang lain. Covidiot bisa juga diartikan seorang yang bodoh, keras kepala, tidak mau mengindahkan aturan menjaga jarak atau physical distancing, sehingga berkontribusi dalam penyebaran Pandemi atau mereka yang bebal/meremehkan, sukar mengerti, tidak cepat menanggapi, tidak peduli terhadap arahan pihak berwenang dalam menghadapi Pandemi. Sehingga jika peringatan May Day tahun ini dilakukan dengan mobilisasi dan pengumpulan masa dalam jumlah besar, yang menimbulkan kontak fisik secara langsung sehingga berpotensi benyebabkan orang terjangkit Pandemi COVID-19. Yang dapat mengancam jiwa dan menyebabkan kematian. Maka bisa jadi peringatan May Day tersebut kehilangan unsur kesosialannya dan menjadi suatu tindakan Covidiot. Hal ini juga termasuk segala bentuk kegiatan sosial dan kepedulian lainnya yang marak dilakukan saat ini, seperti kegiatan pembagian sembako bagi warga kurang mampu. Ini mengingatkan kita pada salah satu adegan dari film Batman yang berjudul “The Dark Knight” yang disutradarai oleh Christopher Nolan, pada tahun 2008. Dimana Joker sebagai salah satu tokoh Antagonisnya memasang bahan peledak pada dua kapal feri yang digunakan untuk mengevakuasi warga kota Gotham. Di dalam satu kapal feri tersebut berisi warga sipil dan pada kapal feri lainnya berisi tahanan (narapidana). Kemudian Joker mengumumkan bahwa ia akan meledakkan dua kapal feri tersebut pada tengah malam, namun hal tersebut masih dapat dibatalkan dan ia juga memberikan kesempatan hidup pada seluruh penumpang dari salah satu kapal feri yang lebih cepat/lebih dulu mengambil keputusan untuk mau meledakkan kapal feri yang lain. Permainan gila dalam bentuk eksperimen sosial yang dilakukan oleh Joker ini menghadapkan manusia pada pilihan untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dengan resiko mengorban dirinya sendiri (kematian) atau mengorbankan manusia lain (kematian) di satu sisi. Perbuatan pembagian sembako kepada orang-orang yang kesulitan ini sekilas seperti sebuah perbuatan yang mulia, penuh dengan kesosialan dan kemanusaian, namun jika dilakukan pada kondisi pandemi saat ini, walau pun tujuannya ingin membantu dan memberikan kegembiraan kepada masyarakat yang membutuhkan, maka perbuatan tersebut bukan hanya kurang tepat tapi lebih nampak sebagai parade, pameran, ekshibisi keberuntungan dari orang yang berpunya kepada orang yang sedang kesusahan dengan memberikan pilihan yang sulit, yaitu hadir untuk mengambil sembako dengan risiko menjadi terjangkit/terpapar COVID-19. Perbuatan ini bukan hanya sebuah perbuatan yang Covidiot, namun juga jahat yang melecehkan rasa kemanusiaan dan kesosialan. Mungkin hanya dapat dilakukan oleh Badut dengan gangguan mental seperti Joker. Yang pasti sebuah perbuatan yang tidak selesai dengan hanya sebatas permohonan maaf saja. Selamat Hari Buruh 2020, semoga kita tetap dapat memperingatinya tanpa harus menjadi Covidiot dan kehilangan makna kesosilannya. (Dosen Fakultas Hukum di Balikpapan)  

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: