Menjemput Kerinduan Kekasih
OLEH: IMRAN DUSE* Hampir dipastikan umat Islam di seluruh dunia menjalani ibadah puasa Ramadan 1441 hijriah dengan gelora dan langgam berbeda. Pandemi COVID-19 yang meniti ke seluruh belahan dunia menjadi penyulutnya. Bukan terhadap ritual-ibadah, melainkan terbitnya aturan pembatasan sosial sebagai rute pencegahan transmisi virus. Pembatasan itulah yang membuat Ramadan tahun ini berparak. Tak lagi kita mendengar suasana riuh anak-anak menjelang atau setelah tarawih. Juga kehebohan anak-anak yang berkeliling kampung membangunkan warga untuk sahur, dengan suara tetabuhan dari beragam barang bekas yang memecah kesunyian. Turut absen ngabuburit, pasar kuliner, bazar Ramadan, takbiran keliling, dan berbagai bentuk kreativitas lain demi menyemarakkan bulan Ramadan. Begitu pula buka puasa bersama (ifthar jama’i) yang lazim dilaksanakan di masjid, di instansi pemerintah, panti asuhan, kelompok arisan, dan sebagainya. Kalau pun ada, pastilah tidak semeriah sebelumnya. Tak perlu berkecil hati. Toh bukan hanya kita yang mengalami. Ini merupakan fenomena global, terjadi di hampir semua masyarakat muslim. Sejumlah negara berpenduduk mayoritas muslim telah mengeluarkan aturan pelaksanaan ibadah Ramadan jauh hari sebelumnya. Banyak yang sudah melarang penggunaan masjid sebagai tempat pelaksanaan ibadah, semisal buka puasa bersama, salat tarawih, hingga (nanti) salat Idulfitri. *** Sejak pertengahan April 2020, Arab Saudi sudah mengumumkan salat wajib dan tarawih selama pandemi COVID-19 harus dilaksanakan di rumah. Menyusul kebijakan penangguhan salat di seluruh masjid di Arab Saudi, termasuk Masjidil Haram di Makkah al-Mukarramah dan Masjid Nabawi di Madinah al-Munawwarah (diswaykaltim, 21/4/2020). Demikian juga di Oman. Otoritas setempat melarang kegiatan yang melibatkan orang banyak selama Ramadan. Mesir melarang kegiatan iktikaf di masjid pada sepuluh hari terakhir, dan telah menutup masjid sejak 21 Maret lalu. Iran, Yordania, Uni Emirat Arab (UEA), Malaysia, juga mengambil kebijakan serupa. Di Indonesia, Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah merilis larangan salat tarawih di masjid, terutama bagi daerah yang rawan. Sementara jika penyebaran COVID-19 tak terkendali, salat Idulfitri juga akan ditiadakan. Pada saatnya, MUI akan mengeluarkan fatwa, dengan memperhatikan perkembangan yang terjadi. Pada 24 Maret lalu, Pimpinan Pusat Muhammadiyah juga menerbitkan edaran dengan mengimbau umat Islam meniadakan salat Idulfitri. Meski demikian, Muhammadiyah mengimbau umat Islam tetap mengumandangkan takbir sebagaimana saat Hari Raya Idulfitri. Senada dengan itu, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) sejak 3 April merilis edaran agar salat tarawih dan Idulfitri dilaksanakan di rumah masing-masing. Juga mengajak umat Islam melaksanakan peribadatan wajib dan meningkatkan amaliah. Di antaranya, taqarrub kepada Allah SWT dengan memperbanyak amalan sunnah, seperti sedekah, membaca Alquran, mujahadah, serta berbagai amaliah lainnya. Dengan demikian, Ramadan tidaklah berkurang nilai kesakralannya. Justru intensitas dan kualitas ibadah seorang muslim dapat lebih meningkat di saat seperti sekarang. Bukankah Tafsir Al-Azhar yang termasyhur itu lahir justru di saat Buya Hamka “di-lockdown” dalam bui--selama dua tahun empat bulan--oleh penguasa? Bagi seorang muslim, tidaklah ada satu kejadian--bahkan selembar daun yang gugur--tanpa izin Allah SWT. Dan tidak pula sesuatu terjadi tanpa ada hikmah atau manfaat bagi manusia dan lingkungannya. Sesuatu yang datang dari Allah pastilah mempunyai nilai kebaikan. Termasuk dengan merebaknya pandemi COVID-19 dewasa ini. Kebaikan yang ditimbulkan wabah COVID-19 terhadap lingkungan dunia sudah banyak diulas. Polusi berkurang dan lapisan ozon semakin membaik (tertutup). Sebagai akibat langsung turunnya suhu di stratosfer. Bahkan menurut sebuah laporan, emisi nitrogen dioksida mengalami pengurangan terbesar sejak Perang Dunia II. Ini disebabkan industri berhenti beroperasi dan kendaraan bermotor banyak yang hanya parkir di rumah. Bumi nampaknya memilih memulihkan dirinya sendiri. *** Jika demikian, bagaimana seharusnya kita memaknai Ramadan di tengah pemberlakuan berbagai protokol pandemi COVID-19 ini? Bila bumi memilih memulihkan dirinya sendiri, bagaimana dengan kita? Hemat kita, sesungguhnya terdapat peluang menjadikan Ramadan kali ini sebagai Ramadan terindah. Di tengah ikhtiar kolektif memutus rantai transmisi COVID-19, kita berkesempatan melaksanakan ibadah Ramadan sebagaimana di masa Nabi Muhammad SAW. Dalam pengertian, menjalani segenap ibadah Ramadan, khususnya salat tarawih dengan menjadikan rumah sebagai pusat aktivitas. Seperti kita ketahui, Nabi Muhammad SAW pertama kali melaksanakan salat tarawih pada 23 Ramadan tahun ke dua hijriah. Di hari ketiga, beliau tak lagi ke masjid. Juga pada hari keempat. Juseru ketika jamaah bertambah banyak, nabi yang mulia itu melaksanakan salat tarawih di rumah. Berdasarkan hadis riwayat Imam Al-Bukhari dan Muslim, keengganan Nabi melanjutkan tarawih di masjid disebabkan kekhawatiran beliau jika turun wahyu mewajibkan salat tarawih itu. Rasul begitu mencintai umatnya, dan karena itu khawatir akan memberatkan jika tarawih kemudian diwajibkan oleh Allah SWT. Atau kalau pun tidak turun wahyu, bisa jadi umatnya akan “membaca” pelaksanaan tarawih itu sebagai ibadah wajib. Dengan demikian, Nabi Muhammad SAW tidak melaksanakan tarawih berjamaah di masjid justru karena cinta dan kasih-sayang kepada umatnya. Akan menjadi pengalaman spiritual yang berbeda dengan Ramadan sebelumnya, jika saat ini kita melaksanakan tarawih berjamaah bersama keluarga inti di rumah, sambil “terhubung” dengan cinta dan kasih sayang Baginda Nabi. Terlampau banyak riwayat yang menjelaskan cinta Rasulullah SAW kepada umatnya. Salah satunya adalah hadis yang diriwayatkan Imam Muslim tentang kerinduan Nabi yang mulia kepada umatnya, yang beliau sebut sebagai saudaranya. Suatu ketika, sepulang berziarah dari makam syuhada Uhud, bersama para sahabat utama, Rasulullah berkata: “Wahai Abu Bakar, aku begitu rindu bertemu dengan saudara-saudaraku.” Mendengar itu, para sahabat tertegun, mencari apa gerangan yang dimaksud Rasulullah. Sahabat Abu Bakar berkata: “Wahai Rasulullah, bukankah kami ini saudara-saudaramu?” Rasulullah bersabda: “Tidak, wahai Abu Bakar. Kalian adalah sahabat-sahabatku. Saudara-saudaraku adalah mereka yang belum pernah melihatku tetapi beriman denganku dan mencintai aku melebihi anak dan orang tua mereka. Mereka itu adalah saudara-saudaraku dan mereka bersama denganku.” Maka betapa indah menjalani ibadah Ramadan di rumah. Puasa, salat wajib dan tarawih berjamaah bersama keluarga inti, sambil “memaknai” kecintaan dan kerinduan Baginda Nabi. Tak ada kebahagiaan yang lebih besar, juga di masa pandemi COVID-19, ketimbang mendapatkan kerinduan dan kecintaan dari manusia agung yang pernah ada di muka bumi ini. Nabi yang mulia, manusia paling dekat dengan Allah SWT, sejak 1.400 tahun lalu telah memproklamasikan kita sebagai saudaranya. Lalu, adakah pencapaian yang lebih tinggi daripada disebut saudara dan dirindukan oleh Sang Kekasih? Kita hanya perlu, dalam ibadah Ramadan berbareng keluarga di rumah, “menjemput” (dengan tanda kutip) kerinduan itu. Allahumma sholli ‘ala Muhammad wa ‘ala ali Muhammad. (*Penggiat Literasi dan Mantan Ketua KPID Kaltim)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: