Rupiah Melemah hanya Sementara, Diyakini Tak Berujung Krisis seperti 1998  

Rupiah Melemah hanya Sementara, Diyakini Tak Berujung Krisis seperti 1998  

Tutuk SH Cahyono. (Dok) Samarinda, DiswayKaltim.com - Nilai tukar rupiah melemah signifikan sejak pertengahan Februari lalu. Hal ini tidak terlepas dari dampak penyebaran COVID-19. Menyebabkan ketidakpastian tekanan pasar keuangan global dan perekonomian dunia. Dalam konferensi pers Hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI, Kamis (19/3), Gubernur BI Perry Warjiyo menyampaikan, per 18 Maret 2020, rupiah secara rerata melemah 5,18 persen. Dibandingkan dengan rerata level Februari 2020, dan secara point to point harian melemah sebesar 5,72 persen. “Dengan perkembangan ini, rupiah dibandingkan dengan level akhir 2019 terdepresiasi sekitar 8,77 persen,” katanya dalam konferensi pers yang digelar secara live streaming. Melemahnya nilai tukar rupiah ini disebabkan berkurangnya aliran masuk modal asing akibat meningkatnya ketidakpastian pasar keuangan global. Per kemarin, rupiah menyentuh Rp 15.770 terhadap dolar AS.  Menyentuh level terlemah sejak krisis moneter di Indonesia pada 1998. Lalu apakah ini pertanda Indonesia memasuki era krisis ekonomi? Kepala Kantor Perwakilan (Kpw) BI Kaltim Tutuk Setya Hadi Cahyono menegaskan, pelemahan mata uang ini diyakini hanya berlangsung sementara. Dan merupakan dampak dari COVID-19. Bukan terkait dengan faktor fundamental ekonomi Indonesia. “Ketidakpastian yang sangat tinggi akibat dampak COVID-19 telah menurunkan kinerja pasar keuangan global dan memicu pembalikan modal kepada aset yang cukup aman,” katanya Minggu (22/3). Ia pun menyebut, kondisi ini terjadi di banyak negara, tidak hanya Indonesia. Ketidakpastian global ini telah mendorong penyesuaian aliran masuk modal asing dari negara-negara berkembang. Termasuk di pasar keuangan domestik sehingga memberikan tekanan terhadap nilai tukar rupiah. Kondisi fundamental Indonesia saat ini, kata dia, berbeda dengan kondisi pada saat krisis 1998. Fundamental Indonesia saat ini jauh lebih kuat. “Sehingga kecil kemungkinan pelemahan nilai tukar rupiah yang terjadi saat ini akan berakhir dengan krisis ekonomi,” tandasnya. Tutuk pun mengatakan, BI telah mengeluarkan kebijakan akomodatif dengan kembali menurunkan suku bunga acuan dari 4,75 persen menjadi 4,5 persen. Serta mengeluarkan tujuh langkah kebijakan untuk menstabilkan pasar uang dan sistem keuangan. BI juga selalu melakukan koordinasi yang kuat dengan otoritas terkait. Baik dengan Kementerian Keuangan, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).  Serta kementerian dan lembaga terkait lainnya guna menjaga stabilitas ekonomi. Untuk kestabilan nilai tukar, BI juga selalu berada di pasar guna memonitor dan menjaga pergerakan nilai tukar rupiah. Dengan mengoptimalkan operasi moneter guna memastikan bekerjanya mekanisme pasar, menjaga kepercayaan pelaku pasar, dan ketersediaan likuiditas baik di pasar uang maupun di pasar valas. “BI juga terus meningkatkan intensitas stabilisasi di pasar DNDF (Domestic Non Deliverable Forward, Red), pasar spot, dan pembelian SBN (surat berharga negara) dari pasar sekunder,” tutupnya. (krv/eny)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: