Cukai, Beban Baru bagi Umat

Cukai, Beban Baru bagi Umat

Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani mengusulkan ke DPR penerapan cukai minuman berpemanis. Pihak DPR memang belum menyetujui usulan tersebut karena masih butuh road map. Sri Mulyani mengatakan, "Diabetes penyakit paling tinggi fenomena dan growing seiring meningkatnya pendapatan masyarakat," jelas Sri Mulyani di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Rabu (19/2/2020) mengutip CNBC. Tidak berhenti pada minuman berpemanis, kantong plastik yang lazim dipakai untuk wadah berbelanja juga akan dikenakan bea serupa. Mobil atau sepeda motor, atau kendaraan bermotor apa saja yang menghasilkan emisi karbondioksida (CO2), juga bakal dikenakan bea. Sri Mulyani mengusulkan perluasan penerapan cukai pada ketiga komoditas itu mempunyai tujuan ganda. Pertama, jelas saja untuk menambah penerimaan negara, terutama dari sektor cukai. Kedua, untuk kepentingan pelestarian lingkungan dan kesehatan masyarakat (vivanews.com, 22 Februari 2020). Pajak, bea dan cukai merupakan pungutan resmi yang dikenakan oleh negara. Meskipun memiliki perbedaan masing-masing, dalam sistem ekonomi kapitalisme ketiganya diyakini mampu menjadi pendapatan negara. Apalagi mengingat ekonomi Indonesia saat ini sedang melemah. Terbukti realisasi pertumbuhan ekonomi sepanjang 2019 stagnan di angka 5%. Maka wajar ketiganya digenjot untuk menambah pemasukan negara. Kebijakan Sri Mulyani mendongkrak penerimaan negara lewat cukai bagaikan memperjuangkan recehan rupiah. Bagaimana tidak, Indonesia adalah negara yang begitu kaya akan sumber daya alam baik itu di daratan maupun lautan hingga apa yang tertimbun di bawahnya. Kekayaan tersebut seharusnya mampu menjadi penopang pemasukan kas negara untuk kesejahteraan rakyat sebab hasilnya sangat jauh lebih besar dari cukai. Sayang seribu sayang, semua kekayaan tersebut seolah semu sebab berada di tangan-tangan asing. Yang pada akhirnya menjadikan negara bak vampire pengisap darah lewat pajak dan sejenisnya. Selain itu, cukai tersebut hanya akan menambah beban rakyat yang kian berat. Walaupun cukai akan dibebankan kepada industri atau produsen, tetap saja berimbas pada rakyat. Sebab setiap industri pasti bertujuan memperoleh keuntungan, dengan begitu harga jual akan dinaikkan. Dari sini otomatis memengaruhi daya beli masyarakat. Khususnya rakyat yang berperan sebagai pedagang asongan tentu mau tidak mau ikut menaikkan harga demi keuntungan yang tak seberapa. Jikalau tidak menaikkan harga demi larisnya dagangan, justru mengurangi bahkan menghilangkan pendapatan. Gali lubang tutup lubang, begitulah pepatah bicara. Kebijakan cukai tersebut hanya menimbulkan masalah baru. Adapun masalah kesehatan dan lingkungan, tidak efektif untuk diselesaikan lewat pembebanan cukai. Angka diabetes yang tinggi bukan masalah minuman saja. Akar masalahnya terletak dari gaya hidup dan politik kesehatan dan gizi negara yang bersandar pada paradigma kapitalisme. Begitupun terkait lingkungan, harusnya bukan hanya kantong plastik yang disoroti, tetapi plastik-plastik lainnya turut menjadi perhatian. Kendaraan bermotor juga bukanlah satu-satunya sumber penghasil gas CO2. Tetapi, ada sektor industri ataupun manufaktur yang juga menghasilkan emisi. Sebab, sumber utama emisi karbon adalah bahan bakar. Jadi, jika memang penguasa serius melestarikan lingkungan, pihak yang harus ditertibkan adalah para pengusaha besar agar menciptakan produk-produk yang ramah lingkungan dan aman bagi kesehatan. Pajak atau pungutan semisalnya dalam islam disebut sebagai dharibah. Maknanya pungutan yang diambil ketika kas negara kosong saat ada kewajiban yang memang kewajiban itu ada dipundak umat Islam. Diambil dari orang Islam yang mampu saja, sifatnya sementara, dan tidak boleh lebih dari keperluan yang menjadi beban kaum muslimin. Jika tidak terpenuhi syarat di atas maka ini termasuk kezaliman yang oleh Nabi dikatakan : “Tidak akan masuk surga orang yang mengambil pajak” (HR. Ahmad, Ibnu Majah, Abu Dawud, Al Hakim). Itulah ancaman islam bagi siapa saja yang mengambil pajak tanpa ketentuan syariah. Sedangkan dalam ekonomi islam sumber utama pendapatan negara bukanlah pajak. Melainkan fai’ [anfal, ghanimah, khumus]; jizyah; kharaj; ‘usyur; harta milik umum yang dilindungi negara; harta haram pejabat dan pegawai negara; khumus rikaz dan tambang; harta orang yang tidak mempunyai ahli waris; dan harta orang murtad. Dengan begitu, besar kemungkinan bahwa kas negara tidak akan kosong sehingga pajak jarang dipungut. Sebab dari segi harta milik umum saja di Indonesia luar biasa kaya. Namun, akibat penerapan sistem kapitalisme Indonesia bak kelaparan di lumbung padi sampai recehan dari cukai minuman dikejar-kejar oleh penguasa kepada rakyatnya. Maka sudah selayaknya kita mengganti sistem kehidupan kita agar kesejahteraan tanpa bergantung pajak segera terealisasi dengan penerapan sistem islam. "Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi ternyata mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan." (QS. Al-A'raf 7: Ayat 96). (*/Aktivis Dakwah Pena, Praktisi Pendidikan, Balikpapan).

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: