Puncak Kefasihan Sayyidina Ali
OLEH: UFQIL MUBIN* Sudah dua bulan saya membaca surat Sayyidina Ali bin Abi Thalib. Surat itu dibuat untuk Sayyidina Hasan bin Ali. Surat itu diurai (syarah) oleh Zainal Abidin Qurbani Lahiji. Judulnya Ali’s First Treatise on The Islamic Ethics and Education. Saya membaca terjemahannya. Dijermahkan oleh Ali Yahya. Penerjemah memberi judul buku ini Risalah Sang Imam, Ajaran Etika Ali bin Abi Thalib. Buku ini diberikan seorang senior kepada saya. Dua bulan yang lalu. Sebagai pecinta buku, tentu saja saya sangat senang dengan pemberian itu. Setelah membacanya, saya harus mempertanggungjawabkan nilai-nilai yang terkandung dalam buku tersebut. Ini beban yang begitu berat. Terlebih saya belum memiliki kemampuan yang memadai untuk memikul nilai-nilai yang diajarkan Sayyidina Ali. Kabarnya, surat ini ditulis Sayyidina Ali saat beliau berusia 60 tahun. Sementara Sayyidina Hasan masih berusia muda. Beberapa riwayat menyebut, keduanya berbeda usia sekira 17 tahun. Artinya, ketika surat ini ditulis khalifah yang dibunuh Ibnu Muljam itu, Sayyidina Hasan sudah berusia 43 tahun. Ini hanya tafsiran saya. Bisa salah. Mungkin juga benar. Poinnya, surat ini ditulis pada saat Sayyidina Ali telah memiliki pengalaman yang sempurna terhadap kehidupan di dunia. Beliau telah melewati masa-masa sulit, peperangan, kepahitan dunia, juga pemahaman yang sempurna tentang “tipu daya dunia”. Barangkali karena dua alasan penting, saya tidak akan menjelaskan isi buku ini. Pertama, saya merasa tidak layak untuk mengutip sebagian atau seluruh isi buku ini. Kalimat-kalimat yang dilontarkan Sayyidina Ali dalam surat itu memuat ajaran etika. Baik dari aspek ibadah mahdoh, hubungan sosial, maupun relasi manusia dengan Allah. Sebagai pemuda yang akan menginjam usia kepala tiga, saya merasa belum mampu mengemban amanah dalam buku ini. Selama dua bulan hilir mudik membaca buku ini, mungkin sudah tiga kali saya membaca berulang-ulang, seluruh nilai yang terkandung dari ucapan Sayyidina Ali tak kunjung dapat saya terapkan dalam kehidupan sehari-hari. Kedua, surat dari menantu Nabi Muhammad Saw itu tak mudah untuk dijelaskan dan dipahami. Saya memiliki ilmu dalam tingkatan yang begitu rendah. Belum bisa disebut secuil dari seluruh khasanah ilmu pengetahuan. Sementara ucapan Sayyidina Ali mengandung nilai-nilai universal yang memerlukan pondasi ruhani, pemahaman tentang mantiq, tata bahasa Arab, kehidupan sosial yang teruji atau lazim disebut akhlak, dan dasar-dasar keilmuan lain yang memungkinkan saya dapat mengutip atau membahas ucapan-ucapan Sayyidina Ali yang terkandung dalam surat tersebut. Saya menulis ini hanya sebagai bentuk kekaguman saya pada kalimat-kalimat yang dilontarkan Sayyidina Ali. Saya telah membaca sebagian kalimat para pujangga dan penyair di dalam negeri dan mancanegara. Penilaian saya–-mungkin ini subyektif–-tak ada satu pun yang dapat menandingi ucapan beliau. Hal yang paling prinsipil dari ucapan Sayyidina Ali adalah kemampuannya merangkum nilai-nilai universal dalam kalimat singkat. Saya pernah bertanya kepada seorang guru. Kira-kira begini pertanyaannya, “Mengapa ucapan Sayyidina Ali begitu rumit untuk dipahami dibandingkan ucapan Nabi Muhammad?” Beliau menjawabnya dengan sangat indah. Ucapan Nabi Muhammad memuat ajaran yang dapat menyentuh seluruh lapisan masyarakat. Siapa saja yang mendengarkan ucapannya, maka ia akan dengan mudah memahaminya. Sementara kalimat-kalimat Sayyidina Ali hanya dapat dipahami oleh kalangan tertentu. Kata guru saya, “Kelompok terpelajar”. Orang-orang yang memiliki ilmu yang memadai dalam bidang logika dan tata bahasa. Tetapi dua manusia agung ini mempunyai kesamaan dalam ucapannya. Mereka berbicara untuk manusia di semua zaman. (*Jurnalis Disway Kaltim)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: