Masa Depan Politik Indonesia
OLEH: HAIDIR* Yang harus kita cermati dalam politik adalah kekuatan sistem dan ideologi yang melatarbelakangi sistem politik. Hal pertama yang kita yakini bahwa kita tidak memiliki persoalan pada ideologi sistem negara. Bangsa kita menganut ideologi Pancasila yang secara akademis telah diakui kebenaran dan nilai-nilai positif yang terkandung di dalamnya. Secara konsepsional, Pancasila sebagai ideologi telah berada pada kondisinya yang ideal. Nilai-nilainya bersumber dari pemikiran dan budaya bangsa Indonesia. Ideologi Pancasila menjadi sangat layak diejawantahkan dalam pola politik, ekonomi, budaya, pendidikan, dan lainnya di tengah bangsa Indonesia. Terutama di bidang politik. Bidang politik merupakan poros utama yang akan memengaruhi bidang-bidang lainnya. Karenanya, harus ada pembenahan-pembenahan dalam bidang politik. Kita analogikan dengan tubuh. Ketika kita sudah memiliki pemikiran ideal, maka berikutnya kita perlu menata sikap agar gerak ideal mengikuti pemikiran kita. Kita akan dikatakan baik manakala terjadi keselarasan antara ideal berpikir dan ideal bersikap. Sama halnya ketika kita bicara Pancasila sebagai ideologi pemikiran bangsa Indonesia. Nilai-nilai ideal Pancasila harus diwujudkan dalam sikap dan tindakan politik bangsa Indonesia. Apakah keduanya (ideologi Pancasila dan politik bangsa Indonesia) sudah selaras? Tentu dalam banyak persoalan, regulasi politik kita masih dibutuhkan perbaikan agar sistem politik terus menyempurna. Karena sistem politik Indonesia masih belum sempurna. Tetapi tidak juga bisa dikatakan buruk. Kita mengakui bahwa sistem politik Indonesia yang didasari nilai-nilai Pancasila telah menjadi sistem yang memiliki banyak nilai positif. Namun persoalan di dalamnya tetap ada. Misalnya ketika menilik pelaksanaan demokrasi di masyarakat. Masih ada orang yang tidak memiliki sikap demokratis. Mereka membawa alur politik dengan isu-isu bohong (hoaks) dan politik identitas yang dapat menghancurkan demokrasi. Idealnya dalam persaingan politik yang demokratis, orang berbicara mengedepankan program. Bukan isu-isu bohong dan politik identitas. Karena politik adalah muara untuk menciptakan tatanan kenegaraan dan kebangsaan yang baik. Di tengah keberagaman ini, bukan perang figur kelompok tertentu versus figur kelompok lain. Ketika politik diorientasikan kepada pertarungan antarfigur kelompok, maka politik akan dikotori dengan isu-isu kebohongan dan politik identitas yang menyimpang dari keberagaman kebangsaan dan bertentangan dengan prinsip ideologi Pancasila yang menyatukan kemajemukan pemikiran dan budaya bangsa. Artinya sistem politik yang mengedepankan kebohongan dan politik identitas telah mencederai sistem politik bangsa ini. Pemilihan kepala negara di Indonesia menggunakan model voting tertutup. Model ini telah dipilih untuk menjaga nilai etik antara pemilih dan figur yang dipilih. Kualifikasi calon pemimpin tentu sudah diatur dengan seperangkat kriteria dan syarat. Misalnya seorang pendukung Prabowo, tidak boleh lagi mempertanyakan kredibilitas Jokowi atau sebaliknya kepada pendukung Jokowi selayaknya tidak lagi mempertanyakan kredibilitas Prabowo. Mengapa demikian? Karena regulasi sudah mengaturnya. Keduanya sudah diseleksi dan dianggap memenuhi syarat-syarat yang telah ditetapkan penyelenggara negara di dalam aturan. Seseorang yang tidak bisa memenuhi syarat pencalonan presiden, pasti akan tidak lolos. Mengapa keduanya bisa terpilih sebagai calon pemimpin? Tentu saja karena keduanya sudah memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan penyelenggara pemilu. Jika muncul pemikiran bahwa syarat-syarat pencalonan tidak terlalu kuat, maka ke depan aturanlah yang harus dibenahi. Bukan menyalahkan figur calon kepala negara yang sedang berkompetisi. Apabila kita ingin mengatur detail masalah individual sampai persoalan keagamaan, nilai-nilai itu bisa dimasukkan dalam persyaratan pencalonan. Selama itu dianggap tidak bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila. Kalau syarat-syarat sekarang dianggap masih terlalu normatif dan tidak mampu menyeleksi orang-orang baik dan berkualitas, ke depan aturan seperti itu bisa dibenahi dan disempurnakan. Sejatinya calon pemimpin yang sudah lolos tidak lagi dilihat figurnya. Karena itu sudah selesai pada tingkat kriteria. Kita tidak perlu lagi mempertanyakan agama dan ideologi kebangsaan Jokowi atau Prabowo. Hal itu berlaku juga bagi pemilihan kepala daerah dan calon anggota legislatif. Ketika syarat dan kriteria figur sudah dipenuhi sesuai aturan, maka seharusnya konsen calon pemilih adalah menguji program setiap calon. Tetapi kenyataannya kita sering kali terjebak dan menggiring pemikiran untuk kembali pada syarat dan kriteria. Harusnya hal itu sudah selesai ketika calon sudah ditetapkan memenuhi syarat dan kriteria. Siapa dan apa agamanya Jokowi atau Prabowo? Itu semua sudah diatur dalam syarat. Saat Komisi Pemilihan Umum (KPU) menyatakan keduanya lolos sebagai calon kepala negara, maka semua syarat tentu sudah terpenuhi. KPU telah mengujinya lewat tim. Selama ini kita terlalu memaksakan wilayah privat ditarik ke ranah publik. Beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa itu wilayah privat. Ketika dipersoalkan di publik, kita akan kesulitan menilainya. Bagaimana kita mau mengetahui kualitas ibadah seseorang? Kalau sudah dinyatakan beriman dan bertakwa kepada Tuhan oleh penyelenggara pemilu, seharusnya tidak boleh lagi digugat. Tidak boleh lagi ada pertanyaan dan gugatan yang mempermasalahkan syarat-syarat calon tersebut. Perdebatan di media sosial dan di ruang publik kita selalu kembali pada persyaratan calon. Seolah-olah ini belum selesai. Kita masih berdebat soal kafir, agama, keluarga, dan bermacam-macam gugatan lainnya mengenai wilayah privat calon dan diumbar di ruang publik. Seandainya persyaratan calon tidak dipersoalkan, maka kita akan lebih konsen pada program. Seharusnya kita mengkritisi program keduanya dengan data dan konsep. Kita tentu masih bisa memahami dan menganggap rasional jika ada orang yang mempersoalkan program pembangunan. Karena itu yang dikehendaki sistem demokrasi yang lebih menitikberatkan pada kritik program daripada bicara wilayah privat figur. *** Mencuatnya politik identitas disebabkan karakter masyarakat kita belum sepenuhnya matang dalam hal keagamaan dan ideologi. Politik identitas digunakan untuk menghancurkan lawan politik. Itu karakteristik umum yang dimiliki politisi. Dalam sejarah Islam, lahir ribuan hadis karena konstalasi politik. Mazhab dalam Islam muncul karena kontestasi politik. Walaupun sebagian kemunculan mazhab juga karena ikhtiar keilmuan para ulama. Dalam sejarah politik Islam, mazhab Ahlusunnah dan Syiah diyakini muncul disebabkan persoalan politik. Mazhab fikih Hanbali, Maliki, Hanafi, Syafi’i, lahir karena ikhtiar keilmuan ulama. Sama seperti kelompok Syiah Imamiyah dan Ismailiyah. Perbedaan dua kelompok Syiah ini lebih bersifat ideologis. Lahir dari ikhtiar keilmuan ulama. Syiah Ismailiyah hanya mengakui imamah sampai Ismail. Sementara Imamiyah mengakui 12 imam. Secara ideologis dua kelompok ini berbeda. Tetapi dalam fikih, keduanya sama. Dalam mazhab Ahlusunnah, antara pengikut Imam Hanafi, Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Hanbali, secara ideologis relatif tidak ada perbedaan di antara mereka. Tapi perbedaannya hanya sedikit pada wilayah fikih. Jika perbedaan ini kita urai lebih jauh, tidak ada perbedaan mendasar antara empat mazhab Ahlusunnah itu. Pada prinsipnya, perbedaan yang lahir dari ikhtiar keilmuan, cenderung sedikit. Tetapi berbeda halnya jika itu lahir dari produk konstalasi politik. Maka akan ada jurang yang sangat jauh dan dalam yang seolah tidak akan bisa dipertemukan. Ketika muncul mazhab Ahlusunnah dan Syiah karena konstalasi politik, maka seolah tidak ada titik temu dua kelompok ini. Padahal ketika kita mau melepaskan jerat tendensi politik dan membawanya ke ranah perdebatan keilmuan, maka ada titik temu pada dua mazhab ini. Kita perhatikan aspek keimanan pada Tuhan dan Rasul. Di Syiah diurai lebih lanjut keimanan pada Allah, Nabi, dan Rasul serta Imamah. Sementara Ahlusunnah berhenti di keimanan pada Allah, Nabi, dan Rasul. Kemudian keimanan pada keadilan ilahi (al ‘adalah) di Syiah. Di Ahlusunnah disebut qadha dan qadar. Kalau diterjemahkan, keadilan masuk dalam aspek qadha dan qadar. Percaya pada hari akhir dan malaikat itu adalah turunan dari tauhid. Secara umum, dasar-dasar kedua mazhab ini tidak terlalu besar perbedaannya. Dalam qadha dan qadar, Ahlusunnah percaya pada kebaikan dan keburukan yang berasal dari Tuhan. Sementara Syiah meyakini ada ketentuan hukum sebab dan akibat yang mengikat setiap kejadian sehingga kebaikan dan keburukan adalah wilayah ikhtiar perbuatan makhluk yang harus dipertanggungjawabkan kepada Tuhan. Tuhan yang menciptakan sistem kausal agar manusia beriktiar pada hukum kausal tersebut. Namun ketika hukum kausal terikat syarat yang ada ukurannya, maka secara tidak langsung itu sama dengan pemahaman qadha dan qadar yang diyakini Ahlussunah. Ketika perbedaan dalam mazhab Islam diseret ke wilayah politik, maka seolah mazhab-mazhab tersebut tidak akan bertemu. Namun ketika dibawa ke ranah kajian keilmuan, sebenarnya banyak sekali persamaan yang membuat mazhab-mazhab itu keberadaanya menjadi semu. Seolah tidak diperlukan adanya mazhab dalam Islam. Dalam sistem politik, problem ini menjadi inspirasi. Tidak ada persoalan pada muara sistem politik kita (Pancasila). Hanya saja perbaikan bisa dilakukan di produk hilirnya. Kalau ada masalah-masalah pada cabang, sistem kita yang harus membenahinya. Seiring berjalannya waktu, pasti ada perubahan-perubahan. *** Sistem kepemiluan dan politik sekarang tentu masih terus dibenahi. Pengawas pemilu masih memiliki kelemahan. KPU juga masih menghadapi banyak tantangan. Seperti pembiayaan yang terbatas, penyiapan logistik, dan penindakan pelanggaran yang tidak maksimal. Di situlah yang harus dibenahi. Masalah-masalah ini kerap muncul di Indonesia. Kemudian sengketa pemilu bisa diselesaikan di Mahkamah Konstitusi (MK). Persoalan MK yang berulangkali melakukan malpraktek, itu seharusnya sudah dibenahi. Yang paling utama bagi kita adalah menjaga konsistensi pelaksanaan sistem. Taat pada aturan main, bertindak sesuai aturan, dan menghargai apapun yang lahir dari sistem politik. Secara umum, sistem kepemiluan dan politik kita sudah bagus. Apakah tidak akan ada kemungkinan terjadi ruang konflik? Jawabannya, itu pasti ada. Hasrat manusia memang tidak pernah puas. Yang kalah pasti tidak mudah menerima kenyataan. Kemudian yang menang kadang tidak bisa menahan perasaan jumawa. Sikap-sikap seperti itu mestinya diredam dan dikendalikan. Kelompok yang kalah harus menahan diri dan pemenang tidak menampilkan kesombongan. Dalam persaingan politik, saling merangkul dan memupuk persaudaraan adalah budaya bangsa ini. (qn/Politisi Partai Kebangkitan Bangsa).
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: