Desa Babulu Laut: Benteng Terakhir Habitat Bekantan dan Budi Daya Mangrove

Desa Babulu Laut: Benteng Terakhir Habitat Bekantan dan Budi Daya Mangrove

Potret bekantan di Desa Babulu Laut, Kecamatan Penajam Paser Utara. -istimewa-

Menjaga Rumah untuk Bekantan
Babulu Laut menyimpan rahasia kehidupan yang luar biasa. Hutan mangrove menjadi rumah bagi berbagai satwa liar, termasuk primata khas Kalimantan, bekantan.

Primata yang dikenal dengan hidung panjangnya itu kini berada dalam status “genting” atau endangered menurut International Union for Conservation of Nature (IUCN), dengan populasi yang terus menyusut.

Menurut data YPUI, hanya tersisa sekira 27 individu bekantan yang hidup di kawasan mangrove seluas 70 hektare di Babulu Laut.  Keberadaan mereka kian kritis.

“Bekantan adalah spesies payung. Jika ekosistem mereka terjaga, maka spesies lain seperti lutung kelabu, monyet ekor panjang, dan aneka burung air juga akan terlindungi,” ujar Tri Atmoko, peneliti primata dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).

“Populasi kecil yang terisolasi rentan punah. Selain risiko inses, bekantan membutuhkan wilayah jelajah yang luas untuk bertahan hidup,” jelas Tri.

Mangrove, benteng alami terakhir
Selain primata, mangrove di Babulu Laut juga menjadi tempat berlindung bagi lebih dari 30 jenis burung air. Beberapa di antaranya bahkan dilindungi pemerintah Indonesia. Seperti bangau tongtong, elang laut perut putih, dan kipasan belang. Namun, habitat ini semakin terancam oleh fragmentasi akibat konversi hutan menjadi tambak.

Sejak 1970-an, masyarakat Babulu Laut mulai mengonversi hutan mangrove menjadi tambak dan kebun kelapa. Awalnya, tambak dibuka untuk budidaya ikan dan udang secara alami, tanpa pakan tambahan.


Mapaselle, Direktur Pokja Pesisir berada di kawasan mangrove yang ditanam. -gathan/disway-

Namun, abrasi dan intrusi air laut semakin memperburuk kondisi lingkungan. Membuat banyak kebun kelapa tidak lagi bertahan. Pirman, Sekretaris Desa Babulu Laut, mengenang bagaimana sungai di desa mereka dulu sempit, dengan dedaunan nipah yang saling bersentuhan.

“Sekarang lebarnya bisa mencapai 40 meter. Itu akibat pembukaan lahan dan abrasi,” katanya.

Mangrove di Babulu Laut bukan sekadar habitat bagi bekantan dan satwa lain. Ia adalah pelindung alami bagi desa dari ancaman abrasi Selat Makassar yang setiap tahun menggerus pesisir lima hingga sepuluh meter.

Pulau Tanjung Tanah, yang berada di garis depan menghadapi gelombang laut, menjadi fokus utama program rehabilitasi yang digagas YPUI dan Pokja Pesisir. Sejak akhir 2024, sebanyak 80 ribu bibit mangrove ditanam di sepanjang pesisir pulau ini.

“Pulau Tanjung Tanah itu benteng bagi Babulu Laut. Kalau abrasi terus dibiarkan, pulau ini bisa hilang,” ungkap Mappaselle, Direktur Pokja Pesisir.

Tidak hanya menanam mangrove. Pokja Pesisir juga membangun pagar pelindung dari kayu ulin untuk meminimalkan kerusakan akibat gelombang laut. Pagar sepanjang 70 meter ini dirancang zig-zag untuk meredam ombak besar, terutama saat musim gelombang selatan dan timur laut.

Rehabilitasi mangrove ini tidak hanya bertujuan melindungi lingkungan. Tetapi juga melibatkan masyarakat lokal. Warga Desa Babulu Laut ikut serta, mulai dari persemaian bibit hingga penanaman. Selain itu, pelatihan pengelolaan mangrove diberikan untuk menciptakan peluang ekonomi baru melalui ekowisata dan perikanan berkelanjutan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: