Desa Babulu Laut: Benteng Terakhir Habitat Bekantan dan Budi Daya Mangrove

Desa Babulu Laut: Benteng Terakhir Habitat Bekantan dan Budi Daya Mangrove

Potret bekantan di Desa Babulu Laut, Kecamatan Penajam Paser Utara. -istimewa-

PPU, NOMORSATUKALTIM – Bekantan dan mangrove memiliki ikatan yang sangat kuat di alam. Keduanya berjuang untuk bertahan, di tengah ganasnya perubahan lingkungan, maupun aktivitas manusia di pesisir Desa Babulu Laut.

Ketek, ketek, ketek, suara perahu motor menderu, menyapu aliran sungai kecil di Desa Babulu Laut, Kecamatan Penajam Paser Utara. Muatannya sekira tiga hingga empat orang dewasa. Tak ada listrik. Tak ada bising kendaraan. Cuma hutan mangrove di kanan kiri sepanjang mata memandang.

“Senja adalah waktu yang terbaik untuk melihat bekantan,” kata Amat, pria paruh baya yang menjadi nakhoda perahu ketinting kami.

Sayang, Nasalis larvatus (bekantan) itu, justru tidak kunjung menampakkan diri dengan hidungnya yang ikonik.  Meski langit Babulu Laut mulai beralih jingga, sang bekantan tak kunjung jua tiba. Akhirnya, matahari beringsut turun ke ufuk barat, langit mulai gelap, membuat banyak serangga keluar dari sarang. Perjalanan kala itu nihil hasil.

Sebelumnya, Rabu (9/1/2025), pukul 11.30 Wita. Rombongan kami memasuki kapal feri penyeberangan di Pelabuhan Balikpapan, bersiap-siap menyeberang menuju Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU).

Sekira satu jam, atau pukul 12.30 Wita, kapal berlabuh di pelabuhan Penajam. Rombongan terdiri dari sepuluh orang. Lima dari kalangan jurnalis, tiga dari perwakilan YPUI (Yayasan Planet Urgensi Indonesia), dan dua dari Kelompok Kerja (Pokja) Pesisir. Sesampai kaki kami berlabuh di tanah Penajam, tiga mobil Inova Reborn sudah menanti.

Kami melanjutkan perjalanan darat menuju Desa Babulu Laut. Awal dari petualangan. Empat jam perjalanan dilalui. Sekira pukul 16.30 Wita, rombongan tiba di Desa Babulu Laut. Sore itu cuacanya tidak begitu terik. Hangat. Layaknya di pesisir pantai.

Misi kami sore itu hanya satu. Melihat populasi bekantan dengan mata kepala sendiri. Ya, untuk menyaksikan primata endemik asli Kalimantan ini harus bisa memerhitungkan waktu yang tepat. Sayangnya, hari ini nihil hasil. Petualangan akhirnya harus terhenti

Kamis (10/1/2025), perjalanan dimulai lebih pagi. Sekira pukul 07: 30 Wita, Amat membawa rombongan ke lokasi yang berbeda. Kali ini dengan harapan lebih besar. Lagi-lagi tetap nihil. Menyerah? Tidak. Sekira pukul 09.00 Wita, saat air laut mulai pasang, perahu kami di arahkan menuju ke lokasi lain.

Ah, ada asa di lokasi yang baru. Suara gesekan daun-daun pepohonan mulai terdengar. Amat bilang, ini isyarat bahwa bekantan mungkin berada tidak jauh dari sini. Perahu meluncur perlahan menuju tepi sungai.


Were saat menunjukkan lokasi lain bekantan biasa muncul.-gathan/disway-

Sementara suara gemerisik dari daun-daun pepohonan tadi terus mengusik perhatian. Akhirnya perahu menepi. Kami memutuskan berjalan kaki sekira 10 menit melewati jalur setapak anak sungai yang licin dan becek. Amat terus meyakinkan rombongan bahwa itu adalah bekantan.

Namun, jarak yang cukup jauh membuat mereka sulit terlihat dengan jelas. Kesabaran kami akhirnya berbuah manis. Anak-anak bekantan mulai terlihat bergelayut di ranting-ranting pohon.

Tak lama kemudian, seekor bekantan jantan dewasa tampak muncul di kejauhan memunggungi rombongan. Beberapa orang mencoba menirukan suara bekantan untuk menarik perhatian. Namun hanya sedikit respons yang didapat. Kamera ponsel kami tak mampu menangkap momen itu secara detail

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: