Darurat Kekerasan Seksual Anak di Dunia Maya, FSGI Dukung Pembatasan Medsos
Indonesia masuk 10 besar dunia kasus kekerasan seksual anak di dunia maya.-(Ilustrasi/ Nomorsatukaltim)-
JAKARTA, NOMORSATUKALTIM – Indonesia masuk dalam 10 besar dunia untuk kasus anak-anak yang menjadi korban kekerasan seksual di dunia maya (online).
Fenomena ini mengkhawatirkan Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), yang mendukung penuh rencana pemerintah membatasi akses media sosial bagi anak-anak guna melindungi mereka dari ancaman dunia maya.
Ketua Dewan Pakar FSGI, Retno Listyarti, menjelaskan bahwa kekerasan seksual kini tidak lagi memerlukan pertemuan fisik antara pelaku dan korban.
Perkembangan teknologi memungkinkan kejahatan ini terjadi melalui platform media sosial.
BACA JUGA: Pemerintah Kaji Rencana Batasi Anak Main Medsos
BACA JUGA: NU Usul Indonesia Larang Anak Gunakan Medsos, Tiru Langkah Australia
"Contohnya adalah anak diminta melakukan masturbasi melalui siaran langsung tanpa menyadari bahaya dari tindakan tersebut. Kekerasan seperti ini semakin marak di dunia maya, sehingga pembatasan media sosial bagi anak-anak sangat diperlukan," ujar Retno, dikutip dari Beritasatu, Minggu (19/1/2025).
Pintu Masuk Predator
Retno menekankan bahwa media sosial sering menjadi pintu masuk bagi predator seksual.
Anak-anak yang sedang merasa galau kerap menumpahkan curahan hati mereka di platform seperti TikTok atau Instagram, yang kemudian dimanfaatkan oleh pelaku untuk mendekati mereka.
"Predator biasanya menyisir anak-anak yang galau, mendekati mereka melalui pesan langsung (DM), dan membangun hubungan manipulatif. Mereka berpura-pura peduli, menanyakan kabar, atau menawarkan perhatian seperti memastikan apakah korban sudah makan atau mengerjakan PR," jelas Retno.
BACA JUGA: Sepanjangan Tahun 2024 Kasus HIV di Berau Melonjak
BACA JUGA: Polda Kaltim Gandeng Ahli Psikologi Forensik Selidiki Kasus Dugaan Pelecehan Balita di Balikpapan
Setelah hubungan manipulatif terjalin, korban sering kali terjebak dalam hubungan pacaran daring.
Pelaku kemudian meminta pertukaran foto atau video tidak senonoh dengan memanfaatkan kepercayaan korban.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: