Peredaran Rokok Ilegal Berpotensi Rugikan Negara Hingga Rp15 Triliun
Ilustrasi rokok ilegal.-IST/ANTARA-
BALIKPAPAN, NOMORSATUKALTIM – Peredaran rokok ilegal yang akhir-akhir ini makin marak, dinilai merugikan negara karena tidak ada cukainya. Artinya tidak ada pemasukan ke kas negara.
Melihat pasar rokok yang besar, serta jumlah perokok aktif di Indonesia, maka pemasukan pendapatan negara dari sektor ini sangat besar. Industri rokok merupakan salah satu sumber pendapatan utama negara.
Dilansir Beritasatu dalam Focus Group Discussion (FGD), Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menyebut potensi kerugian negara akibat peredaran rokok legal tersebut mencapai Rp15 triliun.
Merrijanti Punguan, Direktur Industri Minuman, Hasil Tembakau, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menjelaskan, industri rokok di Indonesia produksinya mencapai ratusan miliar batang setiap tahun.
BACA JUGA: Antrean BBM Masih Jadi Soal di Kaltim Jelang Natal dan Tahun Baru, Begini Tanggapan PERTAMINA
BACA JUGA: Ketua MPR RI Bocorkan Jenis Barang Tidak Kena PPN 12 Persen, Apa Saja?
Data Kementerian Keuangan (Kemenkeu) pada tahun 2023, produksi rokok di Indonesia mencapai 318 miliar batang, meliputi rokok ilegal sebesar 6,9 persen atau ada 22 miliar batang rokok illegal pada 2023.
Jika dikalikan cukai satu batang rokok minimal itu Rp750, maka dari cukai mencapai hampir Rp15 triliun kerugian negara.
“Jika dikalikan dengan cukai tertinggi, yaitu Rp1.300 × 22 miliar batang, dapat dilihat sangat signifikan potensi kehilangan penerimaan negara,” ungkap Merrijanti.
Sementara itu, atas fenomena ini, Indef meminta pemerintah segera bertindak. Menurut Kepala Pusat Industri Pedagangan dan Investasi Indef Andry Satrio Nugroho, negara akan kehilangan penerimaan tidak hanya dari cukai, tetapi PPN.
BACA JUGA: Risiko Tinggi Kanker Paru, Perokok Aktif Usia 45 Tahun Wajib Skrining
BACA JUGA: Pemerintah Bakal Seragamkan Kemasan Rokok Menjadi Polos, Pengusaha Menolak
“Jadi, pemerintah harus segera melakukan upaya extra ordinary. Jika tidak, ke depan kebocoran terkait penerimaan negara pasti tidak akan teratasi,” bebernya di forum yang sama.
Peredaran rokok illegal, katanya, berdampak terhadap penerimaan cukai karena 90 persen penerimaan cukai negara berasal dari industri rokok.
Maraknya peredaran rokok ilegal, salah satunya dipicu oleh daya beli masyarakat yang turun. Demikian diungkapkan Direktorat Jenderal Bae dan Cukai Kementerian Keuangan.
“Perilaku konsumen sekarang cenderung memilih mengonsumsi rokok dengan harga murah karena daya beli masyarakat turun. Akibatnya mereka pertama akan bergeser ke rokok yang harganya lebih murah, down trading," kata Direktur Komunikasi & Bimbingan Pengguna Jasa, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, Nirwala Dwi Heryanto.
BACA JUGA: Ombudsman RI Sampaikan Hasil Pengawasan PPDB Tahun 2024, Implementasi Regulasi Tidak Optimal
BACA JUGA: Ratusan Relawan Damkar Samarinda Hantarkan Jenazah Tiga Pejuang Kemanusiaan
Dia menyebutkan, rokok ilegal dengan yang legal itu selisih harganya minimal 68 persen.
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai telah melakukan upaya untuk mengatasi peredaran rokok ilegal. Setidaknya ada dua pendekatan yang dilakukan, yaitu secara halus dan keras alias berupa tindakan represif.
Salah satunya tindakan soft approach, yakni melalui sosialisasi dan pembinaan kepada pengusaha-pengusaha rokok.
"Kemudian yang repressive kita hard approach. Repressive kita bekerja sama dan bahkan membuat memorandum kerja sama dengan aparat pendekatan hukum, TNI, Polri bahkan dengan Kejaksaan," pungkasnya.
BACA JUGA: Terjadi Pemadaman Listrik, Pelaksanaan Seleksi PPPK di Kaltara Sempat Tertunda
BACA JUGA: Tak Setor Pajak, Direktur Perusahaan Diadili, Rugikan Negara Ratusan Juta Rupiah
Diketahui, pada Agustus 2024 lalu, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) melaporkan adanya peningkatan penerimaan cukai, meskipun dalam persentase yang relatif kecil dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya. Data tersebut tercatat hingga Juli 2024.
Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati menjelaskan, bahwa penerimaan cukai telah mencapai Rp116,1 triliun, tumbuh tipis 0,5 persen secara year on year (YoY). Namun, realisasi ini baru mencapai 47,2 persen dari target APBN 2024.
Nah, dari jumlah itu, cukai hasil tembakau (CHT) atau cukai rokok menjadi penyumbang terbesar dalam penerimaan cukai Indonesia. Hingga Juli 2024, penerimaan dari CHT tercatat sebesar Rp111,3 triliun, hanya tumbuh 0,1 persen YoY.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: