Bagaimana Selama Ini UU TPKS Diimplementasikan di Samarinda?

Bagaimana Selama Ini UU TPKS Diimplementasikan di Samarinda?

dialog sosial tantangan implementasi UU TPKS di Samarinda-(Disway Kaltim/Salsa)-

SAMARINDA, NOMORSATUKALTIM - Perempuan Mahardhika Samarinda mengadakan Dialog Sosial bertajuk “Dua Tahun UU TPKS Disahkan, Bagaimana Tantangan Implementasinya di Samarinda?”, berlangsung di Hotel Horison, Jumat (05/7/2024) pagi.

Dialog tersebut mempertemukan sejumlah pihak yang berkaitan erat dengan penerapan Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS). 

Dengan menghadirkan narasumber, antara lain ialah Disya Halid sebagai Paralegal Perempuan Mahardhika Samarinda, Kasmawati sebagai Direktur LBH APIK Kalimantan Timur (Kaltim), Dardanella Yama Sartika sebagai Jabatan Fungsional Pencegahan Kekerasan Terhadap Perempuan di Bidang Penanganan Kasus 18 Tahun ke Atas Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP2PA) Samarinda, dan Jainah sebagai Jaksa Pengacara Negara Kejaksaan Tinggi (Kejati) Kaltim. 

Dalam pemaparan awal, Disya Halid menyampaikan tantangan yang ia hadapi ketika di lapangan, baik dari sisi korban maupun pendamping.

BACA JUGA : Orang Terdekat Kerap Jadi Pelaku Kejahatan Seksual, Psikolog: Korban Butuh Penanganan Trauma Jangka Panjang

Terutama, korban yang merupakan perempuan muda.

Ia menyebut, korban perempuan muda kerap mengalami Kekerasan Dalam Pacaran (KDP). Tidak hanya perilaku kekerasan secara fisik, namun psikis dan seksual.

Ragam kekerasan yang dialami pun terjadi dari segala cara. Seperti, manipulasi, ancaman, rayuan, dan adanya relasi kuasa.

“Korban masih banyak yang tidak mau melaporkan kasusnya ke pihak yang berwenang. Sebab rasa takut akan stigma masyarakat yang masih menganggap jika ada hubungan berstatus pacar, tidak memungkinkan adanya kekerasan,” ucapnya.

BACA JUGA : Diduga Miliki Kelainan Seksual, Seorang Pria di Balikpapan Terciduk Curi Pakaian Dalam Wanita

“Padahal, relasi tersebut akan rentan dan sulit bagi korban memiliki keberanian dalam melaporkan. Ketika mengutarakan kasusnya, justru dihakimi atau disalahkan oleh lingkungannya. Baik dari keluarga, teman, hingga aparat penegak hukum (APH),” sambungnya.

Perempuan yang kerap disapa Disya itu menambahkan, jika ada korban yang berani melapor, APH terkadang memberikan pertanyaan yang menyudutkan korban.

Sebagai pendamping korban, ujar Disya, juga mengalami hal yang tidak mengenakkan. 

“Pendamping perempuan muda sering diremehkan kapasitasnya dan kualitasnya oleh APH sendiri,” katanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: