Ruang 48

Ruang 48

"Di kamar 48," ujar petugas memberi tahu di mana pemeriksaan terhadap saya dilakukan.

Saya pun melangkah ke arah koridor panjang. Ada kamar-kamar di sepanjang koridor itu. Ada nomor kamar yang ditulis cukup besar di setiap pintunya. Angkanya sebesar telapak tangan.

Tiba di bagian tengah koridor saya belok kiri. Masuk koridor pendek yang berisi 6 kamar. Di situlah kamar 48. Kalau saya tidak belok kiri, masih banyak kamar di sepanjang koridor lanjutan. Saya longok dari jauh: kamar paling ujung sana nomornya 78. Berarti di situ saja ada 78 kamar pemeriksaan.

Saya masuk kamar 48: pintu yang menutup itu saya dorong. Ada meja besar panjang di kamar itu. Masih kelihatan baru. Bersih. Terang. Warna krem muda.

Meja itu panjang sekali. Dari dinding kiri sampai dinding kanan. Tidak ada sela untuk lewat.

Sebenarnya ada. Bagian ujung meja itu bisa dilipat ke atas, untuk lewat. Tapi memang tidak ada orang yang perlu lewat situ.

Saya pun duduk di kursi hitam bersandaran sebahu yang bisa digeser-geser. Sebelah kursi ini ada satu kursi berangka stainless steel yang agak kecil. Mungkin untuk tempat duduk pengacara.

Meja itu sendiri hanya diisi satu set komputer PC. Lengkap dengan keyboard-nya. Selebihnya kosong.

Di seberang saya ada satu kursi bersandaran tinggi, lebih tinggi dari kepala. Rupanya di kursi besar itu nanti pemeriksa saya duduk.

Sepuluh menit kemudian saya masih sendirian di kamar itu. Memang belum jam 10.00. Saya tahu waktu dari jam dinding digital. Jam itu dipasang di dinding belakang tempat duduk saya. Tapi saya bisa menatapnya lewat kaca cermin besar yang posisinya di belakang kursi pemeriksa. Tentu posisi angkanya terbalik. Kadang sulit membedakan mana angka 5 dan angka 2. Secara digital, dua angka itu mirip sekali.

Sambil menunggu waktu, saya mencari tahu di mana letak kamera monitor di ruang itu. Di dinding tidak ada. Di plafon ada kisi-kisi penyedot udara, kisi-kisi AC, neon panjang dua buah, sprinkle pemadam kebakaran, pendeteksi asap, dan satu benda warna biru mirip lampu. Mungkin yang terakhir itu berisi kamera.

Tak lama kemudian pemeriksa masuk. Lewat pintu di belakang kursi pemeriksa. Ia membawa banyak dokumen. Fotokopi. Diletakkan di meja. Rupanya meja ini perlu besar, dan panjang, untuk membeber dokumen di situ.

Saya diminta mempelajari dokumen-dokumen tersebut. Tahunnya 2009, 2010, 2011, dan seterusnya. Tanda tangan saya ada di situ. Baik sebagai dirut PLN maupun sebagai menteri BUMN.

Saya tersenyum kecil. Ada yang agak lucu. Bentuk tanda tangan saya ternyata berubah. Sewaktu jadi dirut PLN, tanda tangan saya sederhana sekali. Sangat mudah untuk ditiru. Waktu sebagai menteri BUMN, tanda tangan saya lebih rumit.

Saya pun ingat: ada yang mengingatkan saya saat itu. ”Bapak sekarang jadi menteri. Tanda tangannya tidak boleh lagi mudah ditiru,” kata orang itu. Saya lupa siapa yang menyarankan itu, tapi sarannya saya turuti.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: