Koalisi Haha Hihi
Merunut historisnya, aturan PT pertama kali diterapkan di Pileg 2009 sebesar 2,5% melalui UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu. Ambang batas parlemen lalu dinaikkan menjadi 3,5% di Pileg 2014, seperti diatur UU Nomor 8 Tahun 2012. Di Pileg 2019 dan 2024, ambang batas parlemen kembali naik menjadi 4%.
Dengan kata lain, semakin tinggi syarat PT, semakin sedikit partai yang bisa lolos ke Senayan. Potensi oposisi kian mengecil, terlebih jika koalisi capres sudah gemuk. Hal ini bisa membuat pemerintahan tidak seimbang. Bisa berbuat seenaknya. Semisal 10 tahun terakhir ini, nyaris oposisi tidak ada. Andai ada, selalu kalah dalam vooting.
Lantas, UU yang kontroversi pun begitu mudah disahkan. Pengawasan kurang optimal. Suara rakyat mudah diabaikan. Lihat saja, berkali-kali aksi penolakan UU Omnibus Law, tetap saja tak pengaruh.
Berikutnya yang patut dikritisi ihwal Presidential threshold. Ini bagian penting dalam proses Pemilu. Terutama soal pencalonan presiden dan wakilnya. Presidential threshold yakni ambang batas suara yang harus diperoleh partai politik dalam gelaran pemilu untuk bisa mengajukan pasangan calon presiden dan calon wakil presiden. Diatur di Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Bunyi UU No 7 Tahun 2017, di Pasal 222: Pasangan Calon diusulkan Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya.
Dengan kata lain, melalui Presidential threshold 20%, capres dan cawapresnya, ya itu-itu saja. Dari Pemilu ke Pemilu, mereka-mereka saja. Bergonta-ganti koalisi, hari ini teman, esok lawan. Padahal rakyat Indonesia berjumlah 270 juta lebih, tapi capresnya, itu-itu saja. Paling banter 3 pasang.
Artinya, pemegang kendali ada di tangan partai. Bukan rakyat. Terlebih UUD 1945 sudah diamandemen empat kali.
Sistem threshold ini sering kali dikritisi. Sebab, inilah yang menjadi salah satu muara korupsi. Di sini loba lobi SK partai menentukan. Yang tentu tidak gratis. Dari calon kepala daerah kelas kota/kabupaten maupun provinsi. Apalagi capres. Siapa yang mau maju capres, harus punya perahu partai.
Konsekuensinya, banyak sekali. Rakyat pun sekan tak punya pilihan. Hanya dijejali dengan paksa pilihan partai. Yang mudah bergonta-ganti pasangan, berganti koalisi. Sesuai kepentingan. Mana yang menguntungkan. Mana yang bisa membuat gembira dan tawa. Ibaratnya koalisi haha hihi.
Siapa yang disukai bandar, itulah pemenangnya. Siapa bandar ini? Anda yang bisa menjawabnya.
Ini mengingatkan pada salah satu guyonan pengasuh Buntet Pesantren Cirebon, almarhum KH. Ayip Abdulloh Abbas. Kiai nyentrik yang kerap disambangi para capres, di tiap jelang Pemilu.
Gurauan beliau, “Sebelum kembali ke UUD 1945, siapapun capresnya, pemenangnya tetap bandar.” Singkat, tapi dalam. Beliau cucu Yai Abbas, pahlawan nasional yang berperan dalam pertempuran 10 November 1945.
Maka, jangan terlalu serius menanggapi dinamika politik. Apalagi sebelum kembali ke UUD 1945 asli dan merevisi batas aturan threshold. Selama masih seperti saat ini, agak sulit berharap banyak. Siapapun capresnya, pemenangnya kelak. Toh kedaulatan ada di tangan partai. Di tangan pemodal.
Bukan lagi di tangan rakyat. Kita hanya dijejali untuk memilih sesuai kehendak partai.
Amat merugi jika hanya untuk membela capres A atau B, sampai mau dipolarisasi, apalagi diadu domba. Rugi. Berbeda pilihan itu biasa. Malah asyik menikmatinya. Sekaligus menikmati drama demi drama politisi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: