Tentara Menulis

Tentara Menulis

Ini dilema. Pidato sering dijadikan referensi. Tapi jarang yang menggunakan pidato oral sebagai referensi. Yang dijadikan referensi adalah teks pidato.

Maka mudah: di teks yang akan diucapkan jangan diberi angka rinci. Bisa salah baca. Yang mendengarkan juga tidak peduli dengan angka yang panjang. Maka angka dalam pidato dibuat pembulatan saja. Lalu di bagian bawah teks itu disertakan data dan angka-angka yang rinci. Tidak usah dibaca. Bagi yang ingin menggunakan pidato itu sebagai referensi bisa ambil dari data yang disertakan.

Atau tidak usah ada pidato.

Untung tidak sedikit juga pidato panjang yang menarik. Tergantung yang berpidato dan cara berpidato.

Di kalangan pembaca Disway ini ada juga seorang wanita yang saya kenal. Dulu bekerja di bagian keuangan. Seumur hidupnya yang dilihat dan ditulis hanya angka-angka. Tidak pernah menulis kalimat. Apalagi panjang.

Tiba-tiba dia berkomentar soal satu topik di Disway. Isi komentarnya penting tapi tulisannya kurang baik. Dia tidak berani mengirim ke kolom komentar. Itu dia kirim langsung ke WA saya. Tentu tulisan itu saya puji: baik sekali.

Dia menulis lagi komentar yang lain. Saya puji lagi. Dan lagi. Seperti kecanduan. Saya perhatikan: kian ke belakang tulisannyi kian baik. Sekarang sudah sangat baik. Beneran.

Maka saya sarankan untuk mulai berani memasukkannya ke kolom komentar. Pak Mirza bisa kalah. Apalagi Leong Putu. Dia pun bisa jadi wanita Disway yang baru. Namanyi: Dwianti Handayani.

Dia bisa menulis baik setelah banyak kali menulis kurang baik.

Kalau saja semua jenderal atau kolonel menuliskan kekayaan pengalaman pribadinya betapa hebat literatur kita. Tidak harus dipublikasikan. Setidaknya bisa dikirim ke Universitas Pertahanan. Bisa ada satu sudut di perpustakaan di sana khusus untuk buku mereka. (Dahlan Iskan)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: