Pilpres Turki
Tiga hari ke depan, Turki akan menghelat Pilpres. Tepatnya, pada 14 Mei 2023. Pilpres ini menyedot perhatian dunia.
Para pengamat politik global berpendapat, hasil Pemilu ini bisa berpengaruh terhadap dinamika geopolitik global. Sampai-sampai majalah kenamaan Inggris, The Economist, menyajikan laporan khusus tentang Pemilu Turki ini. “Pemilu Turki adalah yang paling penting di manapun di dunia pada tahun ini. Jika Recep Tayyip Erdogan kalah, itu menunjukan bahwa erosi demokrasi bisa dibalik. Dan bagaimana orang kuat lainnya bisa disingkirkan,” begitu laporan The Economist. The Economist juga melaporkan, “Kekalahan Recep Tayyip Erdogan akan berdampak secara global,” tulis media London, yang didirikan James Wilson ini. Erdogan telah memenangkan lima pemilihan Parlemen, dua pemilihan presiden dan tiga referendum. Ia memimpin negeri dari kekhilafan Turki Utsmani, yang runtuh pada Maret 1924. Saat ini Turki dikenal sebagai negara terpadat kedua di Eropa. Turki dipimpin Presiden Recep Tayyip Erdogan, yang telah berkuasa selama 20 tahun terakhir. Erdogan pernah menjabat sebagai Perdana Menteri, kemudian sebagai Presiden. Erdogan menahkodai Partai AKP alias Adalet ve Kalkinma Partisi atau Partai Keadilan dan Pembangunan. Partai AKP sejak awal kelahirannya mampu menggebrak hingga terus memperoleh suara mayoritas dalam tiga pemilu terakhir di Turki. Sekarang, Erdogan berusaha memperpanjang masa kekuasaannya, meraih jabatan presiden berturut-turut dalam Pilpres mendatang. Namun, politik Turki saat ini tengah memasuki masa menegangkan menjelang Pilpres, tiga hari mendatang. Sang petahana, Erdogan, berada dalam tantangan berat atas ragam masalah di dalam dan luar negeri. Ia pun akan berhadapan dengan penantangnya yang berpotensi bisa mencungkil kursinya. Penantang kuat Erdogan, Kemal Kilicdaroglu sesumbar akan merebut kursi Erdogan. Kilicdaroglu berasal dari Partai Rakyat Republik, CHP, yang pro Kurdi. Persaingan ketat Erdogan dan Kilicdaroglu juga terbaca dalam beberapa jajak pendapat. Kemungkinan pemungutan suara bisa berlanjut ke putaran kedua dan beberapa menunjukkan Erdogan tertinggal. Kilicdaroglu berambisi, jika menang, ia akan mendeportasi jutaan pengungsi Suriah dan Afghanistan yang tinggal di Turki. Namun, ia menolak jika langkah itu dianggap sebagai tindakan rasis. Deutsche Welle, media asal Jerman yang melayani 30 bahasa, melaporkan Kilicdaroglu juga didukung dua tokoh politik populer, yaitu Wali Kota Istanbul Ekrem Imamoglu dan Wali Kota Ankara Mansur Yavas. Jika Kilicdaroglu memenangkan pemilu, Imamoglu dan Yavas akan ditunjuk sebagai wakil presiden. Banyak politisi Kurdi yang berpengaruh juga berharap pada Kilicdaroglu. Antara 15 sampai 20% dari pemilih berlatar belakang Kurdi. Di Pilpres Turki kali ini, ada dua politisi lain yang mencalonkan diri sebagai capres, meski keduanya tidak begitu populer. Salah satunya Muharrem Ince, berusia 58 tahun. Ia pernah mencalonkan diri sebagai presiden di pemilu 2018 untuk Partai CHP, tapi kalah dari Erdogan. Pada Pilpres 2018, Erdogan meraih 53% suara, mengalahkan rival kuatnya, Muharrem Ince yang memperoleh 31% dukungan. Kandidat terakhir Sinan Ogan, yang dianggap memiliki peluang paling tipis menang. Tahun 2011, ia pernah masuk parlemen dengan MHP, saat itu masih menjadi oposisi. Tapi ia dikeluarkan dari partai pada 2015, meski bergabung kembali setelah kasus pengadilan. Tahun 2017, Ogan kembali dikeluarkan. Kembali pada AKP, partai Erdogan, yang kerap memenangi Pemilu. Kunci keberhasilan mereka adalah selalu berusaha dekat dengan rakyat, berusaha memberi solusi atas pelbagai persoalan yang dihadapi rakyat. Selama ini Erdogan menjadi tokoh yang dikagumi di Turki. Ketokohan ini juga menjadi salah satu kunci keberhasilan AKP dalam memenangi Pemilu. Menurut Prof. Menderes Cinar, AKP pada awal kemunculannya juga memberi penekanan berlebih pada branding. Derap jejak AKP ini dinilai sebagai fenomena post-Islamism yang dipopulerkan Asef Bayat. Alasannya sering kali merujuk pada praktik partai berhaluan Islam yang tak lagi mengejar negara syariah, tapi menerapkan nilai syariah dalam bertindak. Di Indonesia, partai AKP diidentikan lekat dengan PKS. Apalagi PKS memang memiliki jaringan hubungan dengan AKP. Yang disepakati, di antaranya, dalam kaukus di Jenewa Swiss sejak Agustus 2015. Salah satu pendiri kaukus itu adalah AKP. Yang terdiri dari partai-partai Islamis dan demokratis. Dari Indonesia yang ikut kaukus itu adalah PKS. Bahkan, dukungan PKS terhadap capres Anies Baswedan juga dirumuskan dalam pertemuan yang digelar di Istanbul, Turki, pada akhir Januari 2023 lalu. Tentu saja, Pilpres Turki ini menarik perhatian bagi partai Islam, termasuk PKS. Namun, menjelang Pilpres Turki, media-media dan politisi Barat kerap kali memframing Erdogan dengan konstruksi yang menyudutkan. Erdogan dianggap sebagai sosok otoriter, yang mengekang kehidupan warga Turki. Meski begitu, para pengamat pro Erdogan membelanya. Salah satunya, Dr. Abdullah Alamadi. Penulis dan Kolumnis asal Qatar ini, dalam salah satu catatannya, tegas menulis, “Barat setuju untuk menjatuhkannya (Erdogan), dengan cara apapun. Hanya karena dia tak mau tunduk pada mereka.” Pembelaan lain datang dari salah satu jurnalis tersohor Turki, Ragip Soylu. Ia mengcounter campur tangan politisi Barat dalam Pilpres Turki. Soylu menulis, “Bukan urusan partai Hijau Jerman untuk membicarakan siapa yang akan didukung dalam Pemilu Turki.” Pilpres Turki memang selalu menarik diamati. Ada saja kejutan-kejutan yang mengiringi prosesnya. Bagi negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim, kemenangan Erdogan kerap menjadi penantian. Entah kenapa. Entah apa alasannya. Tapi salah seorang karib, Pengamat Geopolitik Global, Ahmad Mulyadi, dalam obrolan via seluler, menganalisa, “Selama 20 tahun belakangan Erdogan membangun kembali peradaban Turki yang Islamis, yang sejak dulu kental dengan sekulerisme warisan Kemal. Makanya Erdogan kurang disukai dunia Barat,” ujarnya. Ahmad, yang tengah mengambil studi PhD di Tomsk State University, Russia dan tengah mengambil studi Geopolitik Global, juga mengamini. Katanya, apapun hasil Pilpres Turki memang bakal mempengaruhi kondisi politik global. Termasuk Indonesia. Shalaallahu alaa Muhammad. *Rudi Agung, penikmat Geopolitik, Ghost WriterCek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: