Komisi IV Parlemen Balikpapan Sidak ke RS Pertamina

Komisi IV Parlemen Balikpapan Sidak ke RS Pertamina

Nomorsatukaltim.com – Komisi IV Parlemen Balikpapan melakukan inspeksi mendadak ke Rumah Sakit Pertamina Balikpapan. Sidak dilakukan menindaklanjuti meninggalnya pasien BPJS KIS usai keluarga pasien merasa mendapat pelayanan buruk. Sidak ini sempat membuat suasana sedikit menegang saat para anggota Parlemen mempertanyakan kronologis yang dialami pasien saat datang ke RSPB. Sidak dipimpin Ketua Komisi IV Doris Eko Ryan Desyanto, didampingi Ardiansyah, Hj Kasmah, Rahmatia, Parlindungan Sihotang, Muhammad Taqwa, Suryani, Yohanis Patiung, dan Sandy Ardian. Direktur RSPB dr Khairuddin menepis jika pasien dimaksud tidak dilayani semestinya karena tidak membayar uang muka. Ia menjelaskan, regulasi di RSPB bagi pasien yang menggunakan BPJS dan non BPJS saat masuk ke IGD itu langsung dilakukan penanganan. Begitu pula pasien bernama Sutrisno. Seperti diwartakan nyawa Sutrisno tidak tertolong lagi lantaran pihak keluarga merasa pihak rumah sakit mensyaratkan membayar uang muka agar mendapat perawatan. “Pasien yang datang itu ternyata kartu BPJS nya tidak aktif sejak Mei 2022. Sudah kami konfirmasi ke BPJS memang yang bersangkutan sudah tidak aktif kepesertaannya,” ujar Khairuddin. Ia membantah pihak rumah sakit meminta uang muka agar pasien mendapat perawatan. Sebelum wafat, jeals Khairuddin, mendiang masih masuk IGD RSPB dan dipasangai infus serta elektrokardiografi (EKG) dan dilakukan CT Scan. “Tidak ada permintaan uang. Pasien dari datang sampai meninggal jaraknya sekitar 2 jam setengah, masuk dalam keadaan koma. Artinya kesadaran menurun pasien dan tidak stabil,” jelasnya. Mendengar jawaban Dirut RSPB, anggota Parlemen Balikpapan Ardiansyah mempertanyakan inti masalah pembayaran awal sebelum penanganan. “Ini ada kwintasi bukti bayar di sini, masih bilang tidak melakukan pembayaran,” tegasnya. Pihaknya menilai pihak Rumah Sakit Pertamina lebih memprioritaskan uang, bukan penanganan nyawa manusianya. “Kami ingin tahu apakah bayar, tapi akhirnya pihak RSPB akui bahwa wajib bayar untuk dimasukkan di ruang perawatan. Intinya ini yang kita pegang. Seharusnya tanpa bayar Rp 10 juta harus dilakukan penanganan sebagai tindakan penyelamat nyawa manusia,” tegas Ardiansyah. Komisi IV berharap agar kejadian seorang pasien meninggal dunia karena masalah administrasi atau finansial jangan sampai terulang kembali. “Yang paling penting itu lakukan penindakan, jangan sampai nyawa yang melayang. Ditolong dulu, urusan lain bisa belakangan,” tegasnya. Ia mengingatkan meski BPJS sudah tidak aktif tapi harus tetap dilayani dengan baik, pihak dari BPJS telah menyampaikan dalam waktu 3×24 jam bisa diurus kembali. Menurut Ardiansdyah, pasien marga Margomulyo itu menjadi peserta Badan penyelenggara jaminan sosial (BPJS) dengan memegang Kartu Indonesia Sehat . Dari laporan warga RT 19 yang diterimanya, pada hari Sabtu sekitar pukul 10.00 Wita, pasien itu dibawa ke ICU sebuah rumah sakit swasta dengan menggunakan KIS. Tetapi pihak rumah sakit ketika itu mewajibkan keluarga pasien membayar administrasi sebesar Rp 10 juta. Karena ada masalah tersebut,  pihaknya berusaha koordinasi dan merekomendasikan menelpon pihak Dinas Kesehatan Balikpapan agar dirujuk ke RSUD Gunung Malang. “Karena info pihak rumah sakit swasta itu alatnya kurang lengkap, ” ucapnya. Sehingga akhirnya dia berkomunikasi dengan pihak Rumah Sakit Karnudjoso (RSKD) namun responnya kurang positif karena terlalu banyak prosedur. “Banyak prosedurnya, harus menelpon pihak rumah sakit, apakah ketersediaan kamar sedangkan pasien ini dalam keadaan darurat,” ujarnya. “Kita sudah berupaya agar pasien tersebut secepatnya bisa ditangani, tetapi beberapa menit kemudian kita mendapat kabar bahwa pasien yang bersangkutan sudah meninggal dunia,” sesalnya. Ardiansyah sangat miris melihat kejadian ini, apalagi terjadi di Balikpapan. Dalam kode etik kedokteran memprioritaskan pertolongan nyawa pasien bukan uang, tapi pada kejadian ini kenapa nilai uang yang diprioritaskan bukan pada penanganan pasien. “Kami sebagai anggota DPRD Balikpapan khususnya Komisi IV sangat terpukul dengan keadaan ini. Seolah yang boleh sehat hanya orang yang memiliki uang. Apapun alasannya setiap orang harus ditolong karena ini menyangkut kemanusiaan,” ujarnya. Ia mengaku sempat menghubungi Kepala Dinas Kesehatan Kota Balikpapan meminta solusi menangani permasalahan ini tetapi tidak mendapat jawaban. “Ini sangat saya sesalkan, Dinkes Balikpapan respon sangat lambat untuk beri solusi. Sudah meninggal baru diinfo dan dijawab. Sudah meninggal aja, pasien diharuskan bayar Rp 2 juta, baru boleh keluar,” sesalnya. Ardiansyah berharap seluruh stakeholder dan pemerintahan dapat mengevaluasi keberadaan rumah sakit swasta dan negeri di Balikpapan. “Mohon dibantu warga Balikpapan. Saya tau kok berapa besaran APBD Kaltim, masa menolong satu nyawa aja gak bisa. Jangan berpikir profitnya saja, yang utama itu kemanusiannya,” tegasnya. (*/Adv) Reporter: Muhammad Taufik

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: