Cerita Dua Bocah dan Ibunya di Kubar yang Hidup dari Memulung (2): Sari Terancam Pidana Perlindungan Anak

Cerita Dua Bocah dan Ibunya di Kubar yang Hidup dari Memulung (2): Sari Terancam Pidana Perlindungan Anak

Kabar dua bocah pemulung yang viral di Kutai Barat, ternyata dapat berakibat buruk bagi Abia Puspita Sari (38), sang ibu. Tak sekadar mendapatkan simpati, tapi bisa berbalik terancam Undang-Undang Perlindungan Anak.

Kubar, Lukman Hakim Mahendra LARANGAN eksploitasi anak diatur dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Abia Puspita Sari (38) seorang ibu yang membawa anaknya memungut sampah pun kini terancam dikenakan pidana perlindungan anak. Kabar tak mengenakkan ini datang dari Dinas Sosial Kabupaten Kutai Barat, melalui Kepala Bidang Rehabilitasi Sosial Yiska Jumeiana, kepada wartawan, beberapa waktu lalu. "Secara aturan sekarang pemulung, pengemis atau anak jalanan akan kena pasal, dan ditindak oleh yang berwajib," ungkapnya. Perlakuan eksploitasi seperti tertuang dalam Pasal 13 ayat (1) huruf b, meliputi perbuatan yang bertujuan memperalat, memanfaatkan, atau memeras anak untuk keuntungan pribadi, keluarga, atau golongan. Sementara dalam pasal 76I menyebutkan, setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan eksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual terhadap anak. Bagi yang melanggar ketentuan tersebut, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 tahun dan/atau denda paling banyak Rp 200 juta. Oleh Yiska, pihaknya mengaku sudah memanggil Sari untuk menangani persoalan yang dihadapi tersebut. Beragam tawaran disampaikan olehnya terhadap Sari. Namun dari beberapa tawaran itu tak digubris. “Dinsos bahkan menawarkan Abia dan anaknya tinggal dan belajar keterampilan masak di rumah makan milik anggota DPRD Kubar, Ipin. Namun Abia tidak mau dengan berbagai alasan. Artinya kami sudah berusaha untuk mediasi dan sempekat," sebut Yiska kala itu. Menurutnya sesuai SOP rehabilitasi sosial, biasanya ditelusuri terlebih dahulu apakah termasuk anak terlantar atau tidak memiliki keluarga sama sekali di kabupaten tersebut. "Apabila masih ada keluarga, akan dikondisikan ke keluarganya," papar Yiska. Adapun, pernyataan soal pemulung ia merevisinya. Menurutnya, pada dasarnya pemulung bisa disebut pahlawan dalam pengelolaan sampah, sebab mereka bisa disebut sebagai petugas kebersihan ilegal/pelaku daur ulang sampah dan juga mereka bekerja dalam artian mengurangi penganguran. “Sebab bisnis daur ulang sampah dapat menguntungkan juga,” paparnya. Disamping itu, Kemenetrian Sosial RI juga masih melakukan proses aturan dan riset terkait sistem perekonomian pada pemulung guna mengembalikan hak-hak sosial ekonomi pemulung agar dapat disebut legal. Yakni dengan program ATENSI (Asistensi Rehabilitasi Sosial) untuk dapat memberikan status legal sebagai Kader Penggerak Kebersihan (KPK). Itu salah satu upaya pemerintah. Sedangkan di kabupaten, setiap tahunnya memiliki program pengembangan SDM pada penyandang masalah kesejahteran masyarakat (PMKS), bekerja sama dengan panti sosial Provinsi Kaltim pada Panti Sosial Karya Wanita (PSKW). “Di tempat tersebut akan dibekali berbagai pelatihan dari mejahit, tata rias, tata boga dan lain-lain. Dan biasanya setelah melakukan pelatihan dibekali alat penunjang untuk dapat berwirausaha di tempat masing-masing dengan bekal pelatihan tadi,” lanjut dia. Lantas, apa upaya pemerintah selanjutnya untuk dapat menangani persoalan yang terjadi pada kasus Sari dan kedua anaknya tersebut?. Ia menjawab, pemerintah akan tetap menindaklanjutinya dengan terus menelusuri dan berkoordinasi bersama perangkat daerah (PD) terkait lainnya. “Konsen pemerintah tetap berupaya memberikan pelayanan yang lebih baik kepada setiap masyarakatnya,” tandasnya. (dah/bersambung 3)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: