Wakil Kepala SKK Migas ke Kaltim Kunjungi Lapangan Migas
Balikpapan, nomorsatukaltim.com - Industri hulu migas termasuk yang menerima insentif dari pemerintah dampak pandemi COVID-19. Dengan berbagai keringanan itu, industri diharapkan tetap bisa memproduksi minyak dan gas. Demi memenuhi kebutuhan energi nasional. Kaltim sebagai salah satu daerah penghasil migas terbesar nasional juga turut menjadi perhatian pemerintah. Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) yang mengerjakan lapangan migas di Kaltim juga mendapatkan insentif. Namun dengan adanya insentif ini, perusahaan dituntut bisa memenuhi target produksinya. Meski di tengah pandemi yang belum sepenuhnya mereda. Untuk itu, Wakil Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Fatar Yani Abdurrahman menyambangi beberapa lapangan KKKS di wilayah kerja SKK Migas Kalimantan Sulawesi. Selama dua pekan, Fatar berkeliling memastikan kinerja operasional tiga KKKS yang berada di lepas pantai. Yakni lapangan offshore Pertamina Hulu Kalimantan Timur (PHKT), Pertamina Hulu Sanga-Sanga (PHSS) dan Eni Muara Bakau. "Kita memastikan KKKS bisa bekerja memenuhi target produksi dengan memenuhi insentifnya. Dan saya melihat sendiri, memastikan kebutuhan mereka," ujar Fatar, ditemui di Ocean Resto, Balikpapan, Senin (25/10/2021). Dalam kesempatan itu, Fatar Yani menjelaskan bentuk-bentuk insentif yang diajukan KKKS demi menunjang produktivitasnya masing-masing. Ia mencontohkan ada banyak komponen insentif dalam PSC Cost Recovery. Antara lain, KKKS bisa mengajukan insentif berupa perubahan split. Insentif yang lain berupa pengajuan diferensiasi investasinya agar dipercepat sekian tahun. Selain itu, bentuk insentif lain yang diperlukan para KKKS berupa pengajuan Investement Credit agar bisa di-cover oleh pemerintah. "Bisa juga Interest Cost Recovery diminta dibayar juga," katanya. Kemudian, insentif juga bisa berupa pengajuan perubahan First Tranche Petroleum (FTP). Ia mencontohkan pengajuan perubahan itu bisa dari 20 persen menjadi 5 persen. "Itu (komponen) Cost Recovery. Ada lagi (pengajuan insentif) pajak-pajak, bayar sewa alat segala juga harus bayar lewat DJKN (Direktorat Jenderal Kekayaan Negara) yang saya rasa memang tidak perlu. Lagipula sudah ada pajak penghasilan yang sudah mewakili semuanya," ungkapnya. Sementara untuk bentuk PSC atau kontrak Gross Split, kata dia, tidak perlu insentif seperti berbagai macam komponen dalam PSC Cost Recovery. KKKS tinggal mengajukan penambahan split dari pertumbuhan gross-nya. Umpamanya seperti pembagian keuntungan para penggarap sawah. Bila kontraktor melihat ada pengeluaran lebih, seperti misalnya perlu memenuhi kebutuhan pupuk lebih banyak, atau alat bajaknya perlu diitingkatkan, pasti juga perlu biaya tambahan. Sehingga penggarap sawah pasti melihat perlunya ada pembagian yang lebih baik untuk menutupi pengeluaran kebutuhan pekerjaannya selama kontrak tersebut berjalan. "Tapi parameternya juga kita lihat, kenapa mereka meminta insentif ditambah. Ini SKK Migas yang mengurus semua, seperti yang saya sampaikan di luar dari pajak-pajak, ranahnya Kementerian ESDM," terangnya. Selain itu beberapa kontraktor juga mengajukan perubahan Domestic Market Obligation (DMO). Di mana aturan dalam UU Migas Pasal 22 menyebutkan, Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap wajib menyerahkan 25 persen bagiannya dari hasil produksi minyak bumi dan atau gas bumi untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. "Ini harus minta izin ke Kementerian Keuangan, boleh enggak sih mereka dibebaskan. Jadi tetap bayar 25 persen sesuai harga ICP. Itu kan rugi kontraktornya walaupun nanti dikembalikan ujungnya tapi di sini ada cost of money," ucapnya. Ia menyebut selama ini KKKS yang sudah meminta insentif ada banyak. Misalnya wilayah kerja Masela juga pernah meminta insentif. "Banyak itu, dia hampir semua masuk parameternya. Kalau enggak, bisa enggak jalan proyek-proyeknya. Ini juga (termasuk) untuk IDD (Indonesia Deepwater Development), dia minta juga (insentif)," katanya. Begitu juga untuk proyek yang lain seperti Genting Oil di Blok Kasuri, sudah mengajukan insentif. Begitupun beberapa proyek di perairan Natuna Kepulauan Riau, juga sudah mengajukan insentif yang disesuaikan dengan kebutuhannya masing-masing. "Kalau Pertamina yang di sini, semuanya, ketiganya (tiga KKKS) meminta insentif. Nah, PHM sudah dapat. Makanya kalau PHM tidak kerjakan (beroperasi) maka berdosa. Wajib hukumnya," tegasnya. Ia menuturkan ada banyak komponen insentif yang diterima PHM. Mulai dari FTP yang turun 5 persen, ada bentuk pengajuan perubahan split juga berdasarkan Optimasi Pengembangan Lapangan-Lapangan (OPLL). "Pemerintah sangat berhati-hati dalam memberikan insentif. Kalau diberikan sekarang, tidak ada lagi insentif berikutnya," ungkapnya. Terakhir ia mengingatkan, bahwa setiap insentif yang sudah diberikan tidak akan berjalan bila tidak didukung dengan kemudahan perizinan. "Jangan salah, ada ratusan perizinan di situ. Yang tadinya persetujuan jadi rekomendasi, apa bedanya. Kita berharap melalui OSS (Online Single Submission) bisa benar-benar mempermudah perizinan," imbuhnya. RYN/ENY
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: