Melihat Sepak Bola Eropa dari The Singh Family
The Singh Family tak hanya diterima baik oleh pendukung Man United yang orang Inggris saja. Mereka juga dicintai. Apabila di satu pertandingan tak ada lima bapak-bapak bersurban di barisan depan pendukung United. Itu menjadi hari yang aneh bagi Manchester United. Sampai segitunya, lho.
Sejak penerimaan itu, Old Trafford menjadi begitu terbuka pada semua ras dan agama. Tak ada diskriminasi. Tak ada rasisme. Semua orang di stadion bernuansa merah itu seperti membuat satu kesepakatan tak tertulis; bahwa apa pun suku, bangsa, dan agamamu, selagi kamu adalah Manchester United. Kamu adalah saudara tak sedarah selamanya. Ini adalah pelajaran kedua dari kisah ini.
Bahwa sepak bola tak bisa dirusak oleh urusan apa pun. Dan penerimaan itu menjadikan sepak bola di Eropa dan Inggris khususnya, menjadi lebih ramah. Kekerasan makin sedikit. Bahkan makin sulit ditemukan. Stadion yang dulunya identik dengan pria-pria siap mati. Kini menjadi layaknya bioskop. Nyaman dan ramah buat mereka yang tidak suka kekerasan, pun buat anak-anak, wanita, sampai lansia.
Kehadiran Singh Family di laga-laga MU tidak hanya menjadi hubungan antar suporter saja. Dari internal Man United sendiri begitu menyayangi mereka. Sir Alex Ferguson yang menjadi simbol kedigdayaan dan kehormatan bagi Manchester Merah saja. Sampai dengan rendah hatinya menyalami mereka di akhir pada banyak laga timnya.
SAF juga meminta Singh Family untuk selalu hadir mendukung tim. Hal yang memang selalu mereka lakukan. Ini menjadi pesan moral ketiga dalam tulisan ini. Bahwa hubungan baik SAF dan Singh Family adalah simbol keterkaitan klub dan pendukungnya.
Tak peduli sehebat apa pun sebuah klub. Jika tak bisa menghargai kehadiran pendukungnya, mereka tak akan menjadi apa-apa.
Lintas dekade dilalui. Singh Family tetap setia menjadi penghuni tribun Old Trafford. Namun pada suatu hari, mereka menghilang. Bukan di satu laga. Tapi di banyak laga. Bertahun-tahun lamanya. Ada apa?
Rupanya, Singh Family bukan lah pendukung buta. Mereka menganggap suporter juga punya hak. Untuk suka dan tidak suka pada kebijakan klub.
Pensiunnya SAF menjadi sebabnya. Manajer asal Skotlandia itu secara mengejutkan memutuskan pensiun pada tahun 2013. Perpisahannya bersamaan dengan perayaan juara Liga Inggris terakhir Man United. Namun yang lebih mengejutkan lagi adalah SAF menunjuk David Moyes sebagai suksesornya. Itu keputusan mendadak yang mengerikan bagi fans United.
Dan benar saja, United langsung kehilangan kualitasnya di tangan Moyes. Bahkan dengan skuat yang sama ketika ditangani United. Surplus Fellaini yang datang di musim panas 2013/14 dan Juan Mata pada Januari 2014. MU hancur lebur. Buruk secara permainan dan hasil. Moyes dipecat sebelum semusim kariernya di United.
Kemunduran drastis itu tidak disukai Singh Family. Mereka menghilang bak ditelan bumi. Setelah ditelusuri, rupanya mereka melakukan protes pada klub. Bukan dengan ribuan argumen buruk di media dan media sosial. Tapi dengan ketidakhadiran.
Singh Family melakukan boikot pada klub kecintaannya. Buah dari bertubi-tubi keputusan buruk yang diambil tim sepeninggal SAF dan David Gill.
Mereka kembali hadir di tribun ketika MU mendapuk Ole Gunnar Solksjaer sebagai manajer. Kehadiran mereka menjadi pemberitaan besar di Inggris. Satu sisi sepak bola yang hilang itu, telah kembali. Ini, menjadi pelajaran keempatnya. Bahwa sebuah tim, memang punya kuasa melakukan segalanya. Tapi ketika mereka tak mampu menyenangkan dan membuat bangga penggemarnya. Kehilangan dukungan adalah salah satu konsekuensinya.
Dan benar saja, di masa transisi yang sudah memasuki usia 8 tahun ini. MU tak lagi menjadi klub dengan pertumbuhan suporter yang signifikan. Bahkan, pendukung lama mereka banyak yang melakukan ‘boikot’ dengan tak menonton laga mereka. Layaknya Singh Family.
*
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: