Dialektika Bermedia Sosial
BERBICARA etika media sosial, perlu kita ketahui bahwa dasar hukum tersebut diatur dalam Undang-undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang perubahan atau Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Informasi elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik, tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya. Etika dalam bermedia sosial sangat kurang, bahkan dikalangan publik figur ataupun yang menjadi idola dari kalangan milenial saat ini. Membuat sebuah konten ataupun sebuah informasi yang tidak mendidik sama sekali. Contohnya: dalam sebuah konten di media sosial instagram mereka menampilkan dan memperlihatkan bahwa legalnya sebuah minuman keras (miras) seakan-akan minuman keras ini tidak mempunyai sebuah aturan. Permasalahan muncul ketika sebuah konten dicontoh oleh penggemarnya (fans) atau pun anak-anak yang tanpa pengawasan orangtuanya. Timbul sebuah pertayaan baru? Apakah aturan kita yang melemah atau kurangnya sebuah pengawasan untuk generasi yang melibatkan sebuah brand minuman keras (miras) yang dapat mengubah mindset tentang sebuah keuntungan. Dan bukan hanya hal-hal seperti ini yang sering terjadi, seringkali peristiwa lain pun terjadi seperti menyampaikan pesan yang mengandung kebencian atau kebohongan yang sering dikenal dengan Hoax. Peristiwa ujaran kebencian, bukan hal baru dalam dunia hukum di Indonesia. Banyak masyarakat yang terlibat atau menjadi salah satu pelakunya, dikarenakan mereka belum paham dan mengetahui bahwa dalam UU ITE Pasal 28 Ayat 2, setiap orang dilarang “dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA), dalam pasal ini mempunyai point dan aturan yang membahas tentang kebebasan bersuara di media sosial. Maka disinilah tugas aparat hukum dan akademisi yang menjelaskan atau mendefinisikan tentang aturan dan batasan-batasan dalam media sosial. Karena tidak sedikit masyarakat ingin bersuara dan memberikan kritikanya terhadap kinerja individu maupun pemerintah, tetapi terkadang terlewat batas dari garis atau aturan yang ada pada UUD ITE NO 19 TAHUN 2016. Website yang menggunakan atau menerapkan ujaran kebencian (Hate Speech) ini disebut (Hate Site). Kebanyakan dari situs ini menggunakan Forum Internet dan Berita untuk mempertegas suatu sudut pandang tertentu, pemanfaatan teknologi informasi dalam kehidupan sehari-hari memunculkan berbagai macam situs jejaring sosial, dan penggunanya telah menyebar secara signifikan diberbagai lapisan masyarakat. Baca juga: Pemberdayaan dan Perlindungan Anak Melalui Penyiaran Situs jejaring sosial dewasa ini banyak digunakan untuk kegiatan ekonomi, bertukar informasi, dan lain sebagainya yang semuanya digunakan oleh masyarakat sesuai dengan kebutuhan masing-masing. Sejalan dengan perkembangan teknologi informasi tersebut masyarakat dapat menggunakan mesin pencari seperti Google, atau Mozilla firefox, namun yang paling populer di kalangan lapisan masyarakat adalah: Facebook, Twitter, Whatshapp, Instagram dan You tube. Perkembangan teknologi informasi sudah sangat canggih, cepat dan mudah sehingga menjadi gaya hidup (life style) bagi masyarakat diseluruh dunia tidak terkecuali di Indonesia juga terkena imbas perkembangan teknologi informasi di era globalisasi ini. Diikuti dengan jumlah penduduk Indonesia yang setiap tahunnya bertambah populasi penduduknya disebabkan angka kelahiran terus meningkat, sehingga pemanfaatan teknologi informasi sangat diperlukan guna menunjang pekerjaan sehari-hari. Hoax dan ujaran kebencian sangatlah dekat karena hoax dapat memicu terjadinya ujaran kebencian. Perkembangan teknologi informasi yang cukup canggih ini, juga harus diikuti oleh perkembangan kejahatan. Untuk mengantisipasi perkembangan tersebut, lembaga legislatif telah membuat ketentuan tentang larangan penyebaran ujaran kebencian atau Hoax. Undang-undang Nomor 19 tahun 2016 tentang perubahan atau Undang-undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) pada Pasal 28 ayat (2). Namun meskipun pendekatan hukum telah dilakukan dan pelaku ujaran kebencian telah di proses secara hukum tetap saja tidak menimbulkan efek jera. Ujaran kebencian di media sosial yang tak kunjung mereda terjadi karena banyak penyebab. Pertama, minimnya program literasi media digital ke masyarakat. Literasi media digital untuk memberikan kesadaran kepada masyarakat tentang konten apa saja yang berpotensi melanggar hukum dan tidak. Kedua ketidak jelasan penegakan hukum. Dalam sejumlah kasus seringkali pelaku ujaran kebencian tidak diproses hingga tuntas. Ada juga pelaku yang melakukan kesalahan tidak dipenjara. Ambiguitas hukum membuat orang merasa terlindung karena tidak ada kepastian hukum yang jelas. Ketiga yang tidak kalah penting adalah konflik politik di level elite. Pengaruh buruk memanfaatkan media sosial juga bisa datang dari tokoh publik yang memiliki banyak penggemar. Mereka berebut memengaruhi masyarakat melalui media sosial untuk kepentingan politik Pengaturan tentang penyebaran informasi yang menimbulkan rasa kebencian dan isu SARA terdapat dalam KUHP Pasal 156 dan Pasal 157 dikenal sebagai pasal-pasal penyebaran kebencian (haatzaai artikelen). Pasal 156 dan Pasal 157 KUHP mengatur tentang larangan menyatakan perasaan permusuhan, kebencian, atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia dan larangan menyiarkan, mempertunjukan atau menempelkan tulisan atau lukisan di muka umum, yang isinya mengandung pernyataan perasaan permusuhan, kebencian, atau penghinaan diantara atau terhadap golongan-golongan rakyat Indonesia, dengan maksud agar isinya diketahui atau lebih diketahui oleh umum. Dalam Pasal 156 ini, ada empat unsur tindak pidana yang diatur, antara lain : Pertama, di depan umum (in het open baar). Unsur ini harus dipenuhi dalam membuktikan pelaku dapat dipidanakan. Pelaku hanya dapat dipidana jika melakukan perbuatan yang dilarang oleh Pasal 156 di depan umum. Jika perbuatan itu dilakukan tidak di muka umum, tidak dapat dijatuhi pidana. Kedua, unsur menyatakan (uiting geven). Unsur ini diartikan sebagai perbuatan menunjukan perasaannya (zijn goverdente kennen geven). Ketiga, mengenai perasaan permusuhan, kebencian, atau merendahkan (aan goverdens van uijandschap, haat atau minachting). Memori penjelasan 48 KUHP Belanda tidak memberikan uraian yang jelas mengenai batasan unsur ini. Hakim diberikan kekuasaan untuk menafsirkannya secara bebas. Semoga dari apa yang kita pelajari tentang Etika Bermedia Sosial dapat menambah sebuah wawasan dan pengetahuan tentang aturan-aturan terhadap bermedia sosial, sehingga dalam bermedia sosial tidak hanya melihat sebuah konten atau informasi yang negatif tetapi berubah menjadi hal-hal yang positif dan bisa di contoh dengan baik oleh generasi milenial saat ini. (*/boy) *penulis adalah Dosen Prodi Hukum Universitas MuliaCek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: