(Penyakit) Kekuasaan Berlebih
Di dunia kesehatan dan kedokteran, dikenal setidaknya dua penyebab suatu penyakit. Pertama, penyakit karena kekurangan nutrisi tertentu. Kedua, penyakit karena kelebihan nutrisi tertentu. Keduanya, sama - sama pernah dan sedang memiliki angka jumlah kasus dan kematian yang tinggi.
Nomorsatukaltim.com - Dunia kesehatan mencatat, angka kematian di Afrika pernah sangat tinggi karena kekurangan makanan, bencana kelaparan. Kini, statistik kesehatan dunia sedang dicermati karena tingginya angka kematian akibat penyakit yang disebabkan oleh kelebihan makanan. Kelebihan lemak, gula, dan kolesterol misalnya, adalah beberapa diantaranya. Pembaca tentu lebih mengenal nama - nama penyakit yang mengikuti kelebihan tersebut. Uniknya, jenis penyakit akibat kasus kedua, yakni karena kelebihan makanan ini, selain karena faktor keturunan, lebih banyak diderita oleh kalangan menengah ke atas. Sebaliknya, kita tahu, jenis penyakit yang pertama diderita oleh mayoritas kalangan menengah ke bawah. Apa yang ada di bidang kesehatan dan kedokteran rupanya tak sulit diadaptasi oleh bidang sosial dan budaya. Termasuk bidang politik dan kekuasaan. Bukankah di awal - awal ilmu sosial humaniora diisi oleh mereka yang berlatar ilmu - ilmu alam? Sebut misalnya Emile Durkheim, pencetus teori sosiologi itu adalah orang yang mulanya adalah ilmuwan fisika dan serumpunnya. Noam Chomsky, yang kini dikenal bapak linguistik dunia hingga komentator politik tersohor adalah seorang yang berlatar ilmu biologi. Dalam ilmu politik, terutama jika dikaitkan dengan analisis sosial budaya, rupanya juga dikenal adanya kelebihan kekuasaan. Fenomena kelebihan makanan, meski tak sepenuhnya serupa, dapat disandingkan dengan gejala kelebihan kekuasaan di dunia politik dan kekuasaan dewasa ini. Dinasti Politik dan Oligarki Politik Beragam istilah dan terminologi yang mewakili substansi dari kekuasaan yang berlebihan. Ada istilah “politik dinasti” yang sering tertukar dengan “dinasti politik”. Adapula yang mengoreksi dengan istilah “oligarki politik”. Dan, adapula yang menyebutnya sebagai keserakahan politik atau politik yang serakah (greedy politic). Para pendukung teori “politik dinasti” dan atau “dinasti politik” — umumnya dari ahli atau yang disebut pengamat politik — berargumen bahwa di alam demokrasi, ternyata ada saja keluarga yang seperti menurunkan kekuasaannya ke anak, menantu, ponakan, dan istrinya laksana di era monarki. Bedanya, di masa monarki mekanisme dan prosedurnya lebih banyak berlangsung secara otomatis, sementara di alam demokrasi, dipilih oleh rakyat — meski kadang pilihannya terbatas dan atau dibatasi secara tidak langsung. Belakangan, terutama di tanah air, media memang dinilai turut andil dalam memproduksi dan mereproduksi istilah “dinasti politik” dan atau “politik dinasti” ini. Sementara itu, para pendukung istilah dan teori “oligarki politik” — di antaranya oleh para ahli bahasa dan analis sosial budaya— menilai bahwa istilah “dinasti” adalah milik “monarki”. Sekarang masanya demokrasi. Selayaknya, ketika monarki diganti demokrasi, istilah dinasti juga sepatutnya berakhir. Pun, jika ada jejaring dan simpul keluarga yang muncul berkuasa dan bertahan, itu lebih layak disebut “oligarki”. Bukan “dinasti”. Begitu argumen dasar pencetus dan pendukung teori ini. Penggunaan istilah “dinasti politik” dewasa ini di tanah air, oleh penyokong teori oligarki politik, dinilai menunggalkan pemaknaan terhadap kata “dinasti” menjadi negatif. Dimana, mulanya dinasti memiliki pemaknaan yang tidak selamanya dimaknai buruk. Pendapat para pendukung teori “oligarki politik” ini, tentu saja terbuka untuk diperdebatkan sebagaimana pendapat dinasti politik sebelumnya. Secara substansial, kesamaan teori di atas adanya “kekuasaan berlebih”. Kelebihan kekuasaan oleh segelintir orang. Di titik ini, para penteori dinasti politik dan oligarki politik sama sama sepakat. Bahwa kelebihan kekuasaan, sebagaimana kelebihan makanan dalam ilmu kedokteran dan kesehatan itu tidak baik. Jika perlu, lebih baik dicegah sedari dini sebelum menjadi “penyakit akut”. Bukankah dalil politik klasik memang bilang bahwa “power tends to corrupt” (kekuasaan cenderung korup)? Kekuasaan berlebih juga berpotensi menciptakan “kanker” pada “demokrasi”. Sayangnya memang, sebabnya adalah satu hal: nafsu atau hasrat berlebih. Tepatnya, nafsu mengkonsumsi dan nafsu berkuasa. Dalam bahasa sehari - harinya keberlebihan ini dibilangkan sebagai “sifat rakus” (greedy). Greedy Politics vs Green Politics: Politik rakus vs Politik Hijau Greedy politics (politik serakah) setidaknya menengahi perdebatan terminologis dan konseptual antara istilah dinasti politik (political dynasty) dan oligarki politik (political oligarchy), di atas. Keduanya pun bersepakat bahwa yang mereka maksud adalah menandai dan memaknai “politik yang serakah” (greedy politics). Gramatika (tata bahasa) politik dunia hari ini memang sedang menyoroti dua istilah terbaru: politik rakus dan politik hijau (greedy politics and green politics). Yang pertama dinilai berlebihan, yang kedua diproyeksi lebih berkelanjutan. Dalilnya adalah, politik rakus cenderung memangsa kemanusiaan dan hijaunya alam ciptaan Tuhan. Sementara itu, politik hijau diharapkan dan menjanjikan keberlanjutan kehidupan (sustainability of life). Konteks Indonesia dan Kalimantan Timur Di tanah air, terkhusus di beberapa daerah, termasuk di Kalimantan Timur, telah lama menjadi wacana mengenai dinasti politik, politik dinasti, dan oligarki politik ini. Baik di masa pilkada, pilgub, bahkan pilpres yang lalu. Kaltim menjadi sorotan karena alamnya yang hijau dinilai “dikuras” oleh sistem politik yang ada hari ini. Terbaru, muncul berita tentang isu pergantian pucuk pimpinan lembaga legislatif Kaltim. Oleh perbincangan di arus bawah, ini dinilai tak lepas dari pertarungan elit politik di Bumi Etam. Media ramai memberitakan. Pengamat pun dimintai pendapat. Hangatlah jadinya. Namun, yang luput dibincangkan secara kritis adalah, apakah ini praktik “dinasti” atau “oligarki” politik? Atau jangan – jangan ini adalah fenomena perebutan elit — yang sebenarnya sudah “surplus” kuasa? Apapun itu, yang perlu diingat adalah sebagaimana makanan berlebih dapat menciptakan “kanker” pada tubuh manusia, kekuasaan berlebih dapat pula menciptakan “kanker” dalam tubuh kekuasaan itu sendiri. Selalu ada titik balik (turning point) pada setiap hal yang dilakukan secara berlebih. Terakhir, ketimbang terjebak pada politik serakah (greedy politics) dan keserakahan kekuasaan, lebih terhormat ketika politik hijau (green politics) yang lebih bermoral, beretika, berkemanusiaan dan berkelanjutan untuk alam dan manusia, diamalkan. Wabil khusus bagi Kalimantan Timur, Bumi Etam. (*) *Dosen FIB UnmulCek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: