Kriminalisasi Masyarakat Adat Laman Kinipan

Kriminalisasi Masyarakat Adat Laman Kinipan

Kriminalisasi Masyarakat Adat Laman Kinipan

OLEH: KANA KURNIA*

Balikpapan, Nomorsatukaltim.com Masyarakat hukum adat merupakan suatu kesatuan dalam satu wilayah adat yang bersifat otonom. Di mana mereka mengatur sistem kehidupannya secara mandiri seperti hukum, politik, ekonomi dan sebagainya. Dan juga bersifat otonom. Yaitu suatu kesatuan masyarakat adat yang lahir atau dibentuk oleh masyarakat itu sendiri. Bukan dibentuk oleh kekuatan lain.

Perlindungan terhadap hak-hak masyarakat hukum adat telah dijamin oleh konstitusi. Keberadaan Pasal 18 B ayat (2) dan 28 I ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) serta Undang-Undang (UU) Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria, UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan, Mineral dan Batubara dan UU lainnya telah berupaya memberikan pengakuan dan penghormatan terhadap kesatuan masyarakat hukum adat. Memang secara das sollen pemerintah telah menjamin secara yuridis keberadaan masyarakat hukum adat. Akan tetapi dalam perjalanannya, pengakuan dan penghormatan terhadap masyarakat hukum adat yang dilakukan oleh pemerintah masih menemukan berbagai kendala. Sebagai contoh diskriminasi tersebut adalah kasus konflik antara masyarakat adat Laman Kinipan dengan PT Sawit Mandiri Lestari (SML) yang bergerak di bidang perkebunan sawit. Konflik terjadi dari tahun 2012. Kemudian memanas sejak PT SML mulai membuka hutan (land clearing) dengan menebang banyak pohon ulin dan membabat hutan. Konflik memuncak pada 26 Agustus 2020. Petugas kepolisian datang ke rumah Effendi Buhing yang merupakan ketua adat komunitas Laman Kinipan di Lamandau, Kalimantan Tengah (Kalteng). Polisi menangkap Effendi atas tuduhan pencurian alat milik PT SML. Pada perjalanannya, kekerasan fisik mewarnai konflik berkepanjangan ini. Ironisnya aparat negara yang seharusnya bersikap netral dan mengutamakan kepentingan masyarakat justru memihak kepada perusahaan tersebut. Kemudian dalam situs web Mongabay, sebelum Effendi, terdapat lima warga adat Laman Kinipan lainnya yang sudah duluan diamankan ke Polda Kalteng. Karena tuduhan pencurian satu gergaji mesin perusahaan disertai dengan tindakan kekerasan. Berdasarkan hasil temuan dari Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), sepanjang tahun 2018 hingga 2019 sedikitnya telah terjadi 410 kejadian konflik agraria dengan luasan wilayah konflik mencapai 807.177,613 hektare. Dari 144 ledakan konflik agraria yang terjadi di sektor perkebunan. Sebanyak 83 atau 60 persen terjadi di perkebunan komoditas kelapa sawit. Ketimpangan antara peraturan dengan kenyataannya terkait pengakuan dan penghormatan masyarakat adat beserta hak-haknya cukup nyata. Padahal dalam Pasal 18 B ayat (2), berbunyi bahwa masyarakat adat dan hak-hak tradisionalnya diakui dan dihormati negara sepanjang masih ada. Selain dalam Pasal 18B ayat (2), pengakuan dan penghormatan terhadap masyarakat hukum adat juga diatur dalam Pasal 28I ayat (3) UUD 1945 yang berbunyi, “Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.” Seyogyanya hak-hak konstitusional masyarakat adat Laman Kinipan lebih diutamakan daripada hak-hak warga negara biasa. Karena masyarakat adat Laman Kinipan adalah warga negara yang memiliki hak-hak khusus. Secara teori diakui bahwa masyarakat adat sebagai warga negara Indonesia perlu mendapatkan perlindungan, jaminan dan kepastian hukum. Tetapi dalam realitanya, nasib dan status sosial ekonomi mereka termarjinalkan. Hak-hak masyarakat hukum adat menurut Komisi Hak Asasi Manusia (HAM) dan Konvensi International Labour Organization (ILO) tahun 1986 terdiri dari hak untuk menentukan nasib sendiri, hak untuk turut serta dalam pemerintahan, hak atas pangan, hak atas persamaan, hak atas perlindungan, dan hak atas penegakan hukum yang adil. Walaupun keberadaan dan hak-hak masyarakat hukum adat secara formal diakui di dalam UUD 1945 dan konvensi internasional, akan tetapi dalam kenyataannya hak-hak tersebut secara berkelanjutan telah dilanggar baik oleh pemerintah maupun non-pemerintah. Pelanggaran-pelanggaran ini meliputi pelanggaran terhadap hak ekonomi, sosial dan budaya. Yang berujung pada pelanggaran hak sipil dan politik. Pelanggaran hak-hak secara berkelanjutan tersebut tidak jarang memakan korban jiwa dan harta. Komnas HAM memberikan pendapat bentuk-bentuk pelanggaran hak asasi manusia terhadap masyarakat hukum adat, yaitu: (a) pengambilalihan secara sewenang-wenang hutan adat melalui penunjukan dan atau penetapan sebagai kawasan hutan kepada pihak-pihak lain untuk pengusahaan hutan, perkebunan, dan pertambangan; (b) pengambilalihan hutan adat tanpa pemberitahuan tujuan dan implikasi penggunaannya tanpa persetujuan sepenuhnya masyarakat hukum adat yang bersangkutan; (c) perilaku diskriminatif oleh aparat kepolisian, militer, dan pejabat pemerintah terhadap masyarakat hukum adat, dan (d) penangkapan/penahanan tanpa surat perintah penangkapan atau penahanan dan tanpa kompensasi. Beratnya perlindungan terhadap masyarakat adat tidak terlepas dari keberadaan Pasal 18B ayat (2) UUD 1945, bahwa adanya pasal tersebut ternyata tidak serta-merta mudah untuk diimplementasikan. Mengingat sebagian elit pada masa Orde Baru ketika itu masih menghendaki sistem pemerintahan yang sentralistik. Bagi para elit tersebut, tidak semua gagasan amandemen harus dikabulkan. Hal itulah yang kemudian menimbulkan rumusan Pasal 18B ayat (2) menjadi tidak jelas. Di lain pihak, negara menghormati dan mengakui masyarakat hukum adat. Akan tetapi di sisi lain, dibebani oleh syarat-syarat yang sangat berat. Karena menurut para elit Orde Baru, eksistensi masyarakat hukum adat dapat menjadi tantangan berat. Pasalnya, pemanfaatan tanah-tanah untuk pembangunn dipastikan akan bersinggungan dengan hak-hak tanah adat. Alasan lain, Pasal 18B ayat (2) tersebut tidak mudah diimplementasikan karena adanya empat syarat yang dirasa sulit untuk diwujudkan. Yaitu sepanjang masih hidup, sesuai perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan diatur dalam undang-undang, merupakan suatu persyaratan yang sangat berat bagi masyarakat hukum adat. Sebaliknya, bagi pemerintah atau pengusaha sebagai pihak yang kuat, empat syarat tersebut dijadikan argumentasi untuk menutup pintu rapat-rapat bagi masyarakat hukum adat. Agar tidak mudah memperoleh haknya. Oleh karena itu, berdasarkan penjelasan di atas, rumusan bahasa dalam Pasal 18B ayat (2) yang tidak jelas telah menjadi penyebab utama bahwa pasal di dalam UUD tersebut tidak dapat diimplementasikan. Hal ini bertentangan dengan kaidah bahasa UUD yang harusnya dibuat jelas, obyektif, tidak mengandung multitafsir, dan harus dapat diterapkan, serta tidak boleh membuat kelompok tertentu dirugikan atau diuntungkan. Akibat dari rumusan pasal yang tidak jelas itulah masyarakat adat termarjinalkan dan tidak mendapatkan perlindungan. Khususnya masyarakat adat Laman Kinipan. (*Dosen Hukum Universitas Mulia Balikpapan)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: