38 Kasus Pelanggaran Tambang, Jatam: Ada Pembiaran

38 Kasus Pelanggaran Tambang, Jatam: Ada Pembiaran

Kalender mulai berganti esok hari. Namun catatan kelam pelanggaran di dunia tambang masih membekas dan dapat terulang lagi. Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kaltim mencatat, ada 38 pelanggaran yang terjadi di Bumi Etam. Tak satupun semuanya yang diusut tuntas.

nomorsatukaltim.com - KE-38 kasus tersebut terdiri dari sembilan kategori pelanggaran. Namun dari keseluruhan temuan kasus tersebut, Jatam Kaltim mengklaim, tidak ada satupun yang ditindak oleh pemerintah setempat maupun aparat penegak hukum. "Hingga saat ini, tidak ada penindakan atas pelanggaran yang telah dilakukan oleh para perusahaan tambang batu bara," ungkap Dinamisatoris Jatam, Pradana Rupang ketika dikonfirmasi Disway Kaltim, Rabu (30/12/2020). Rupang merincikan, dari masing-masing kasus pelanggaran yang dimaksud, di antaranya, pencemaran dan perusakan lingkungan sebanyak lima kasus, perampasan tanah sebanyak empat kasus, kriminalisasi terhadap warga dua kasus, dan pertambangan ilegal sebanyak sepuluh kasus. Lalu, ada pula kasus anak yang kembali meregang nyawa di lubang tambang berjumlah dua orang. Dengan demikian, jumlah korban anak tewas di lubang tambang di Kaltim, bila diakumulasikan sebanyak 39 orang. Pelanggaran selanjutnya ialah mengancam keselamatan nelayan dan masyarakat pesisir sebanyak tujuh kasus. Kelalaian protokol keselamatan kerja enam kasus, dan perusakan fasilitas publik satu kasus. Serta yang terakhir, terkait korupsi dan penyalahgunaan wewenang sebanyak satu kasus. Dari seluruh pelanggaran tersebut, Rupang lebih dahulu menyampaikan terkait kasus tewasnya anak-anak di lubang tambang. Disebutkannya, selama tiga tahun terakhir, kasus anak meninggal di lubang tambang cenderung meningkat. Hal ini dikarenakan lalainya pengawasan pemerintah terhadap perusahaan tambang yang tidak menjalankan protokol keselamatan di setiap lubang tambang. "Jadi selama tiga tahun meningkat. Dan dua tahun periode kepemimpinan Isran Noor sebagai Gubernur, kami mencatat terjadi pembiaran dan pengabaian terhadap pengawasan dalam kasus ini," ucapnya. Kata Rupang, dari fakta di lapangan, sejumlah lubang tambang itu kini tanpa pengawasan. Bahkan menurutnya, komitmen Pemprov Kaltim untuk melakukan penindakan terhadap perusahaan tambang yang mengabaikan protokol keselamatan juga tidak ada. "Justru begitu nampak pembiarannya," ujarnya. Dia mencontohkan, salah satunya terjadi pada kasus tewasnya dua pelajar SMP di lubang tambang di Kabupaten Paser. Itu disebutnya adalah fakta, bahwa sejumlah protokol keamanan yang telah disusun oleh undang-undang dan peraturan daerah, serta diusung oleh Fakta Integritas di 2016, menjadi begitu tidak berarti. "Ini dikarenakan tidak adanya kepemimpinan yang tegas mengenai perlindungan anak-anak di Kaltim, terhadap ancaman lubang tambang," imbuhnya. Rupang membandingkan kepemimpinan Gubernur Kaltim semasa Awang Faroek dengan Isran Noor. Menurutnya, di masa kepemimpinan Awang Faroek, ada beberapa tindakan yang tegas terhadap sejumlah perusahaan tambang yang melakukan pembiaran lubang tambang. "Itu tepatnya pada periode 2015 hingga 2018. Ada perusahaan tambang yang izinnya dibekukan, sehingga perusahaan tidak beroperasi dan bahkan diberikan sanksi," katanya. "Beda halnya dengan kepemimpinan Isran Noor. Dia Gubernur yang cuek, tak mau tahu. Bahkan apa yang diderita rakyatnya, justru seakan-akan takut dan tidak berdaya dengan perusahaan tambang," imbuhnya. Bahkan menurutnya, Isran Noor tak menunjukkan rasa empatinya kepada keluarga korban. Dengan cenderung menyalahkan keluarga korban, tanpa ada mendorong upaya penegakan hukum. "Inilah bentuk kemunduran dari proses pengawasan bahkan proses penegakan hukum dalam kasus lubang tambang," tegasnya. Dari sejumlah kasus, Jatam Kaltim menemukan lubang tambang yang dibiarkan menganga tanpa ada standarprotokol keselamatan. Di antara protokol keselamatan itu seperti pemberitahuan kawasan berbahaya, memasang pagar pembatas agar anak-anak tidak bisa mengakses lubang tambang, dan mendirikan pos jaga beserta petugas keamanannya. "Tiga hal dari standar protokol keselamatan itu saja, itu tidak terjadi," katanya. Sementara itu, para penegak hukum bahkan disebutnya tidak melakukan tindakan yang baik atas kasus korban tewas di lubang tambang. "Salah satu contohnya, masih yang kasus di Paser. Di mana saat (Dinas) ESDM (Energi dan Sumber Daya Mineral) belum melakukan investigasi, pihak kepolisian sudah menyatakan bahwa itu murni kecelakaan, atau human error," katanya. Hal ini, lanjut Rupang, menjadikan preseden buruk bagi aparat hukum, yang telah mendahului standar operasional prosedur (SOP) yang ada. Seharusnya kepolisian lebih dulu menunggu hasil investigasi ESDM Kaltim untuk melakukan penelusuran atas kelalaian apa yang terjadi. "Ini bukan mengenai masyarakat yang tiba-tiba tewas di sana. Tapi ini mengenai sebuah kawasan, yang seharusnya mendapatkan perlakuan reklamasi, atau penutupan lubang, pasca aktivitasnya berakhir dan itu sudah ada SOPnya. Jadi yang salah siapa sebenarnya. Perusahaan atau masyarakat," jelasnya. Selain kasus tewasnya anak di lubang tambang, masih banyak lagi kasus pelanggaran pertambangan lainnya yang tidak mendapatkan tindakan Pemprov Kaltim dan Polda Kaltim. "Tidak ada yang dilakukan pemerintah dari seluruh kasus yang terjadi di tahun ini. Baik pemerintah yang melakukan pengawasan. Serta penegak hukum itu sendiri," tandasnya. (aaa/zul)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: