Non-tunai

Non-tunai

TIDAK perlu repot bawa duit kemana-mana. Cukup bawa handphone (HP) atau bawa kartu berisi duit elektronik. Tidak perlu repot nunggu duit kembalian. Juga tak perlu berprasangka buruk, atas duit kembalian yang diganti bonbon, atau diminta disumbangkan untuk membantu kaum papa.

Begitu lah tampaknya misi yang hendak disampaikan di balik berita berjudul "Bangun Kesadaran Transaksi Non Tunai", yang disajikan Disway-Nomor Satu Kaltim edisi tanggal 1 Desember lalu, di halaman 9 (BusinessToday). Saya sudah semakin terbiasa melakukan pembayaran non-tunai, sejak beberapa tahun silam. Mulai dari menggunakan kartu kredit, kartu debit, lantas muncul duit elektronik (e-money). Yang belum adalah bayar transaksi pakai barcode di HP seperti kebiasaan rakyat di Tiongkok, yang saya lihat lima tahun lalu, ketika mengunjungi negeri itu. Bank Indonesia tampak terus mendorong pembayaran non-tunai ini. Buktinya, dengan sengaja bikin Festival Non Tunai Balikpapan (Fentabi) selama dua pekan. Ketika lima tahun lalu mengunjungi beberapa kota di Tiongkok, saya lihat masyarakat di sana sudah terbiasa bertransaksi non-tunai. Begitulah pemandangan yang tampak sampai ke pasar-pasar tradisional. Bahkan untuk transaksi, yang jika dirupiahkan, nilainya tak sampai lima ribu rupiah! Transaksi non-tunai itu tentu semakin penting di musim virus Corona, seperti sekarang ini. Karena penyebaran COVID-19 sangat masif, di antaranya lewat uang kertas maupun logam. Dengan transaksi non-tunai itu, kita tidak perlu bersinggungan dengan uang kertas maupun logam. Kenapa di Tiongkok orang semakin terbiasa, bahkan lebih suka, dengan bertransaksi non-tunai, tentu karena mereka sudah sangat percaya dengan penyelenggara non-tunai itu. Ketika itu penyelenggaranya masih didominasi oleh Alipay. Itu perusahaan dalam grup Alibaba, yang saham terbesarnya dimiliki si fenomenal Jack Ma. Selain itu transaksi non-tunai itu dirasakan sangat mudah oleh masyarakat di Tiongkok. Tidak perlu ribet dengan uang kembalian, yang meskipun nilainya sangat kecil, dalam hitungan sen, tapi si pembeli masih rela menunggu. Juga dulu, ketika masih bertransaksi menggunakan uang kertas, para pedagang di pasar-pasar, harus sangat hati-hati menerima uang kertas selembar bernilai besar, senilai 100 Renminbi. Setara 200 ribu rupiah. Mereka harus melakukan proses meraba dan menerawang. Itu karena banyaknya uang palsu yang beredar. Sementara di negeri kita, saya melihat masih adanya batasan nilai transaksi di beberapa tempat berbelanja. Di kasirnya ada tulisan cukup besar: pembayaran dengan kartu debit dan uang elektronik, minimal transaksi Rp 15 ribu! Sejak diberlakukan kartu debit, saya sudah menggunakannya di awal. Pun dengan uang elektronik. Kedua cara pembayaran itu membuat saya semakin jarang menggunakan kartu kredit. Sesekali kartu kredit yang saya gunakan adalah milik Bank Mega. Itu karena banyaknya diskon di gerai jaringan mereka, seperti Coffe Bean, Baskin Robins, ketika ngajakin teman ngopi berombongan. Tapi sampai minggu lalu, masih saja ada yang berusaha membobol kartu kredit saya. Digunakan untuk belanja online, membeli handphone berturut-turut tiga kali di Mi.com. Saya tahunya karena ditelpon oleh petugas operator kartu kredit, yang bercuriga dengan transaksi beli HP berturut-turut itu. Maka kartu kredit saya itu pun terpaksa diblokir. (zam)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: