Problem di Balik Target Penambahan Wirausaha
OLEH: M AMBRAN AGUS*
Pada 2030, Indonesia menargetkan jumlah wirausaha mencapai 4 persen. Ini merupakan target besar buat Indonesia. Dalam menumbuhkan perekonomian di masa mendatang. Hanya saja, ada persoalan penting yang menghambat pertumbuhan wirausaha: kurangnya pengawasan terhadap procurement/purchasing atas keputusan dalam menentukan tender/penunjukan langsung.
Indikator-indikator kejahatan bisnis dalam perundangan dimuat dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Meliputi perjanjian yang dilarang (Pasal 4-Pasal 16), kegiatan yang dilarang (Pasal 17-Pasal 22), dan posisi dominan (Pasal 25-Pasal 29).
Kegiatan usaha terbagi menjadi dua bagian: pertama, perusahaan membeli kebutuhan operasional untuk digunakan sendiri. Kedua, membeli untuk dijual kembali (distributor/agen) berdasarkan permintaan pelanggan atau diistilahkan back to back.
Kedua bagian tersebut dilakukan atau diperankan oleh pengadaan barang dan jasa atau istilah di perusahaan disebut sebagai procurement/purchasing. Mereka menjalankan peran dalam melakukan pembelian untuk digunakan sendiri maupun dijual kembali. Sehingga peran dari procurement/purchasing diduga dapat melahirkan kejahatan-kejahatan dalam kegiatan bisnis atau sesuai dengan indikator kejahatan larangan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.
Peran procurement/purchasing di instansi perusahaan saat ini berbeda-beda. Ada yang menjadikannya department support. Ada juga yang menempatkannya sebagai department strategic atau core. Peneliti dalam melakukan kajian dan riset terkait hubungan antara rekanan/vendor dan procurement/purchasing menunjukan, mereka adalah pihak yang bisa membantu perusahaan berkembang. Juga bisa membuat perusahaan buntung.Seharusnya procurement ditempatkan dalam inti perusahaan (cores).Bukan sebagai support.
Hal ini berkaitan dengan pertanggungjawaban procurement/purchasing dalam hal keperdataan dan pemidanaan. Sehingga bukan semata direktur yang bertanggung jawab secara penuh sesuai Pasal 97 Undang-Undang Nomor 40/2007 tentang Perseroan Terbatas. Akan tetapi juga bagian pengadaan barang dan jasa dapat mempertanggungjawabkan keputusannya. Dalam melaksanakan tender atau penunjukan langsung.
Landasan dalam menentukan pertanggungjawaban sesuai dengan teori pertanggungjawaban hukum yakni strict liability, vicarious liability, dan theory indetify. Ketiga teori ini dapat digunakan untuk melakukan fungsi pengawasan terhadap procurement/purchasing.
Dalam teory strict liability disebutkan, menentukan kesalahan dengan cukup melihat mens rea atau unsur kesalahan atau niat dalam melakukan tindakan/keputusan seperti proses tender/penunjukan langsung yang sudah menjurus ke arah perbuatan melawan hukum dan dapat diperkuat dengan actus reus atau perbuatan yang dilarang oleh perundangan. Misalnya perjanjian yang dilarang, kegiatan yang dilarang dan posisi dominan yang dilakukan oleh procurement/purchasing kepada rekanan untuk kepentingan pribadi atau keduanya. Teori ini dapat digunakan untuk menjalankan peran pengawasan terhadap procurement/purchasing dalam upaya preventif dan represif.
Kemudian, vicarious liability dapat digunakan untuk meminta pertanggungjawaban direktur dalam persoalan hukum. Di mana peran pengganti bertanggung jawab dalam mempertanggungjawabkan peristiwa hukum. Dengan melihat unsur kesalahan yang dibuatnya sendiri. Hal ini digunakan dalam bentuk upaya represif.
Selanjutnya, theori indetify atau biasa disebut teori organ. Di mana posisi procurement/purchasing semestinya dimasukjan atau dikelompokkan ke dalam cores perusahaan. Supaya melengkapi teori pertanggungjawaban hukum.
Oleh karena itu, ketiga teori ini adalah teori-teori yang sangat memungkinkan untuk melakukan pencegahan atas perbuatan yang diduga melawan hukum oleh procurement/purchasing dalam melakukan keputusan tender atau penunjukan langsung. Sehingga sangat diharapkan dibentuk suatu perundangan khusus yang mengatur tentang tindakan procurement/purchasing.
Memang saat ini peraturan yang tersedia hanya dua. Tingkatannya Perpres Nomor 17 Tahun 2019 dan Perpres Nomor 16 Tahun 2018. Saat ini belum mampu memberikan efek maksimal dalam hubungan bisnis. Karena sifatnya hanya mengatur teknis pengadaan. Subjek dalam kegiatan bisnis pun hanya pemerintah dengan swasta. Sedangkan antar swasta tidak diatur sedemikian rupa. Inilah salah satu alasan yang menjadikan Indonesia tidak bisa mendorong ekonomi sesuai dengan target dengan persaingan usaha yang sehat. Karena pengadaan barang dan jasa atau procurement/purchasing sebagai fungsi utama bisnis tidak diatur atau tidak memiliki regulasi setingkat undang-undang. Sedangkan perannya sangat strategis. Dalam mengembangkan usaha atau kegiatan usaha.
Oleh karena itu, pemerintah sangat diharapkan membuat regulasi yang mengatur tentang pengadaan barang dan jasa dengan level undang-undang. Bukan Perpres. Hal ini akan memberikan kepastian hukum bagi Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Dalam menjalankan perannya sebagai pengawas atas dugaan persaingan usaha tidak sehat. (*Ketua KIPP Kota Balikpapan)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: