Pilkada Serentak dan Toleransi Berdemokrasi

OLEH: ZULKIFLI ABDULLAH*
Setelah sempat tertunda akibat pandemi COVID-19, Komisi Pemilihan Umum (KPU) akhirnya menetapkan kembali penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2020. Tahapan dan jadwal ini diatur dalam Peraturan KPU (PKPU) Nomor 05 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas PKPU Nomor 15 Tahun 2019 tentang Tahapan, Program, dan Jadwal Penyelenggaraan Pilkada Tahun 2020. Tercatat sekitar 270 daerah (kabupaten/kota dan provinsi) dengan rincian 9 provinsi, 224 kabupaten, 37 kota yang akan menyelenggarakan perhelatan demokrasi untuk memilih kepala daerahnya masing-masing.
Prosesi penyelenggaraan Pilkada kali ini berbeda dengan penyelenggaraan kontestasi sebelumnya. Pilkada 2020 akan diselenggarakan di tengah situasi pandemi COVID-19 yang hingga kini masih melanda Indonesia dan bangsa-bangsa di dunia. Saat ini, para pasangan calon kepala daerah sedang disibukkan dengan agenda kampanye yang oleh KPU diberi waktu sejak 26 September hingga 5 Desember 2020. Kampanye di tengah pandemi COVID-19 membuat para tim pasangan calon kepala daerah sedikit mengubah metode kampanye yang disesuaikan dengan protokol kesehatan pencegahan penularan COVID-19.
Walaupun metode kampanye saat ini berbeda dengan metode kampanye sebelum pandemi, narasi dan strategi kampanye masing-masing pasangan calon tetap sengit dan kompetitif dalam merebut tahta kekuasaan di daerah. Segala variabel yang memungkinkan pasangan calon mendulang kekuatan elektoral digunakan. Dalam rangka memenangkan perebutan takhta kekuasaan di daerah. Salah satu variabel yang sulit hilang dalam kontestasi politik adalah variabel identitas. Identitas selalu hadir ke permukaan. Mewarnai narasi kampanye para pasangan calon. Sebagai salah satu strategi mendulang kekuatan eletoral.
POLITIK IDENTITAS
Sebagaimana biasanya, politik tentu identik dengan kompetisi. Di dalam sebuah kompetisi, menang dan kalah menjadi hal niscaya untuk kita terima secara lapang dada. Kemenangan dan kekalahan harus dilihat sebagai gambaran atas kualitas yang dimiliki untuk selalu berbenah. Dalam rangka menggapai cita-cita yang paripurna. Oleh karena itu, kita tentu tidak heran, jika mendengar dan membaca jargon kompetisi yang dipopulerkan oleh KPU. Dalam menghadapi setiap kontestasi politik. Baik di level lokal maupun nasional. “Siap kalah, siap menang” merupakan frase sekaligus jargon utama yang harus dipahami oleh seluruh rakyat Indonesia. Agar menerima dan menjalankan suasana politik yang berkualitas, fair serta damai.
Masalah yang lazim terjadi dalam setiap penyelenggaraan pesta demokrasi lokal maupun nasional adalah perubahan kompetisi menjadi konflik kekerasan di arena politik. Masalah tersebut terjadi karena perilaku politik elite dan masyarakat belum sampai pada tingkat perilaku yang berkualitas. Sesungguhnya suasana politik itu sangat ditentukan oleh perilaku politik elite dan masyarakat.
Perilaku politik elite dan masyarakat yang sadar dapat menjadikan kontestasi politik berjalan sesuai harapan. Namun, kontestasi politik akan keruh jika perilaku elite dan simpatisan politik hanya memikirkan kekuasaan semata.
Realitas politik pada umumnya terjadi di daerah merupakan realitas politik yang dibangun di atas fondasi identitas. Identitas, seperti suku, agama, ras, dan garis kekerabatan selalu menjadi alat yang digunakan elite untuk merebut kekuasaan di daerah. Elite politik yang hanya memikirkan kekuasaan akan menggunakan identitas untuk menekan lawan politik. Sekaligus mengangkat elektabilitas dirinya dalam ruang sosial.
Realitas politik di daerah tersebut dapat digambarkan dalam kerangka pemahaman dialektika internalisasi-eksternalitas (eksterior) dan eksternalisasi-internalitas (interior)-(Pierre Bourdieu dalam Sjaf, 2014). Dalam konsep eksterior, perbedaan merupakan realitas objektif yang tidak dapat dimungkiri keberadaannya. Keberagaman suku, agama, ras, silsila kekeluargaan, bahkan identitas putra daerah merupakan hal niscaya dalam masyarakat. Oleh karena itu, individu ataupun kelompok akan membangun hubungan politik berdasarkan kesamaan identitas yang mereka miliki.
Sedangkan konsep interior menganggap bahwa politik identitas merupakan bagian dari diri elite politik. Jadi, berangkat dari konsep interior di atas, pembentukan identitas politik senantiasa bertitik tolak dengan kesadaran elite politik. Oleh karena itu, dalam setiap aktivitas politik, elite akan selalu menggunakan identitas untuk meraih posisi-posisi tertentu di masyarakat. Dalam perspektif ini, identitas merupakan instrumen alami untuk menyatukan dan membedakan kelompok sosial di arena politik. Jika menggunakan perspektif di atas, maka dia akan menggunakan isu suku, agama, ras, silsila keluarga, bahkan isu putra daerah untuk merebut tampuk kekuasaan di daerah.
TOLERANSI BERDEMOKRASI
Dalam istilah Abraham Lincoln, demokrasi merupakan sistem di mana masyarakat memerintah dirinya sendiri. Dalam pandangannya, pemerintahan itu dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Salah satu wujud dari sistem demokrasi ini adalah diselenggarakannya pemilihan umum secara langsung oleh masyarakat di sebuah negara.
Dalam konteks Pilkada, demokrasi diposisikan sebagai aturan main yang digunakan oleh masyarakat untuk menentukan pilihan politiknya. Masyarakat bebas menentukan pilihan politik untuk memilih figur-figur kepala daerahnya. Kebebasan itu benar-benar lahir dari kesadaran masyarakat yang terbebas dari dikte dan rekayasa elite politik di daerah.
Namun demikian, untuk menjadi bebas, masyarakat harus memiliki otonomi--meminjam istilah Hegel. Dalam artian, pilihan politik masyarakat dilakukan secara rasional tanpa paksaan dari kekuatan elite politik. Kebebasan rasional yang dimaksud adalah kebebasan kreatif yang memperlihatkan kualitas diri sebagai anggota masyarakat yang beradab. Karena hanya dengan kualitas kolektif, hajatan demokrasi benar-benar dilalui sebagai pesta rakyat yang terhidar dari diskriminasi dan konflik kekerasan.
Hal ini juga akan berdampak pada kualitas perilaku politik yang toleran dan bersikap bijak terhadap perbedaan pilihan politik. Kualitas kolektif masyarakat juga diharapkan mampu mengatasi perilaku politik identitas yang sengaja direkayasa oleh elite politik tertentu hanya untuk menyalurkan hasrat kekuasaannya. Perilaku politik yang menjadikan identitas kelompok sebagai instrumen politik untuk menekan lawan dan mengangkat elektabilitas pribadi, secara politik merupakan perilaku lama dan usang yang segera ditinggalkan untuk meningkatkan kualitas politik kita.
Sebaliknya perilaku politik yang mengedepankan gagasan, visi-misi yang berpihak kepada masyarakat, dan rekam jejak yang baik (track record) mesti kita kedepankan. Dalam rangka menata kualitas politik. Supaya melahirkan pemimpin daerah yang berkualitas. Jadi, demokrasi yang baik adalah demokrasi yang toleran. Sedangkan toleransi berdemokrasi adalah wujud nyata dari kualitas politik masyarakat. Selamat memilih. (*Dosen Pembangunan Sosial Fisip Universitas Mulawarman)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: