Berdamai dengan Kemarahan Alam
OLEH: ABDUL HARUN*
Isu krisis lingkungan menjadi isu penting yang dihadapi oleh Indonesia dan dunia. Adanya fenomena alam berupa banjir, tanah longsor, gempa bumi bahkan tsunami dari tahun ke tahun akumulasinya selalu bertambah dan cenderung tidak dapat terkendali. Sehingga kebakaran hutan, banjir pada waktu musim penghujan dan kekeringan pada waktu musim kemarau, disinyalir akibat adanya oknum-oknum perusak lingkungan yang tidak bertanggung jawab.
Tercatat, bencana yang terjadi di Indonesia sepanjang tahun 2020 yakni 12 bencana gempa bumi dan 256 kebakaran hutan. Kemudian disusul 726 bencana banjir, tanah longsor sebanyak 367 kasus. Bencana-bencana itu telah merenggut korban jiwa yang tak sedikit jumlahnya.
Indonesia sebagai negara dengan populasi penduduk muslim terbebesar di dunia (87 persen atau 237 juta penduduk) seharusnya dapat menjadi agen dalam perannya merawat, menjaga bahkan melestarikan dan memakmurkan alam yang diciptakan oleh Tuhan.
Dengan semakin majunya peradaban, maka seharusnya semakin baik pula pelestarian pada alam. Namun berbanding terbalik dengan adanya sampah, polusi serta pencemaran lingkungan. Maka fenomena banjir, tanah longsor, gempa bumi bahkan tsunami merupakan salah satu bukti kemarahan alam.
Seyyed Hossein Nasr mengatakan, aspek spiritual yang dipinggirkan mengakibatkan manusia modern berpandangan bahwa manusia dapat seenaknya mengeksploitasi alam secara berlebihan.
Menarik untuk melihat tanggapan Alquran terhadap oknum perusak lingkungan. Hal ini terdapat di dalam surah Ar-Rum ayat 41, “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia. Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka. Agar mereka kembali (ke jelan yang benar)”.
Ayat di atas dapat diartikan bahwa krisis lingkungan hidup akan terjadi bila manusia sudah tidak memperhatikan kelestarian ekologi (lingkungan) secara keseluruhan ketika mengeksploitasi alam. Munculnya kerusakan fisik lingkungan hidup pada hakikatnya juga diakibatkan krisis mental manusia.
Hubungan yang kuat antara manusia dan alam bukan sekadar erat. Tapi juga vital. Sebab, kehidupan manusia sangat bergantung pada alam. Hal ini didasarkan pada kebutuhan sekunder serta primer berupa oksigen, air dan juga makanan manusia diperoleh dari alam. Sementara alam hampir tidak mempunyai kebergantungan pada manusia. Kecuali karbon dioksida yang dihasilkan oleh manusia saat bernafas pada siang hari dan jasad manusia yang dibutuhkan tumbuhan sebagai sumber hara dan bahan makanan. Itu pun jika posisi jasad tersebut terjangkau. Sebab kuburan manusia sekarang suda beton. Tentu sulit bagi tumbuhan untuk dapat mengakses manfaatnya.
Dalam Alquran, Allah menyatakan bahwa alam diciptakan untuk memenuhi kebutuhan manusia. “Dan Dia menundukkan untukmu apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi semuanya. (Sebagai rahmat) daripada-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berfikir”.
Ayat tersebut dapat menjadi landasan manusia dalam pemanfaatan sumber daya alam untuk kebutuhan manusia. Pada dasarnya, Islam tidak melarang manusia untuk memanfaatkan alam. Namun ada batasannya. Tidak mengeksploitasi secara berlebihan. Sehingga perlunya memanfaatkan alam dengan cara yang bijak dan bertanggung jawab dalam mengelola serta memelihata alam dan lingkungannya dengan tidak merusaknya.
Oleh sebab itu, manusia sebagai khalifah di muka bumi sudah menjadi tugas dan kewajibannya dalam memakmurkan bumi. Hal ini menunjukkan bahwa kelestarian dan kerusakan alam berada di tangan manusia. (*Mahasiswa Program Studi Ilmu Alquran dan Tafsir IAIN Samarinda)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: