Indonesia dalam Pusaran Prahara (1)
OLEH: UFQIL MUBIN*
Nama Presiden Indonesia Joko Widodo (Jokowi) diabadikan sebagai sebuah nama jalan di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab (UEA). Peresmian President Joko Widodo Street pada 19 Oktober 2020 dipimpin oleh Chairman Abu Dhabi Executive Office Sheikh Khalid bin Mohammed bin Zayed Al Nahyan. Dalihnya, pemberian nama jalan itu sebagai refleksi hubungan yang erat antara Indonesia dan UEA serta bentuk penghormatan pemerintah negara dengan sistem federasi itu pada hubungan bilateral dua negara.
Namun, penyematan nama Jokowi sebagai nama jalan itu menuai reaksi penolakan. Juga dukungan dari berbagai pihak. Kelompok yang kontra beralasan: pertama, pemberian nama itu bernuansa politis. UEA ingin “merayu” Indonesia untuk mendukung kebijakan negara tersebut melakukan normalisasi hubungan dengan Israel. Hal ini sebagai sinyal bagi para penentang kebijakan UEA tersebut bahwa Indonesia sebagai negara muslim terbesar di dunia tetap bersama Abu Dhabi.
Kedua, UEA ingin terus menjalin hubungan baik dengan Indonesia agar negara di Teluk Persia itu dapat “meraup keuntungan” ekonomis dari kerja sama bisnis yang selama ini dibangun negara tersebut. Sebagaimana diketahui, serangkaian kesepakatan bisnis antara Indonesia-UEA telah disepakati. Salah satunya investasi super jumbo UEA dalam pembangunan ibu kota baru di sebagian wilayah Penajam Paser Utara dan Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur.
Dalam artikel ini, secara khusus saya hanya akan mengupas motif politis dalam pemberian nama jalan Jokowi di Abu Dhabi. Dalam opini lanjutannya, saya akan menguraikan bagaimana langkah politis itu diambil demi mengamankan raksasa bisnis UEA di Indonesia.
MENGAPA INDONESIA?
Pemberian nama itu sejatinya sebagai salah satu langkah UEA untuk menarik hati Jokowi. Dalam percaturan politik global, Abu Dhabi ingin memposisikan Indonesia sebagai “sahabat”. Setidaknya dalam hal langkah kontroversial negara itu melakukan normalisasi hubungan dengan Pemerintah Israel.
Mengapa Jokowi dipilih sebagai nama jalan? Pertama, Jokowi adalah penguasa di negeri ini. Di saat bersamaan, mantan Gubernur DKI Jakarta itu memimpin Indonesia dengan kekuasaan yang nyaris “mutlak” karena partai-parati pendukungnya yang tergabung dalam koalisi memegang kursi mayoritas di DPR.
Kedua, Jokowi merepresentasikan pemimpin negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Indonesia pun tergabung dalam Organisasi Kerjasama Islam (OKI). Suara-suara perwakilan negara ini juga didengar di kancah global melalui Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Ketiga, Indonesia menetapkan kebijakan luar negeri terhadap masalah Palestina-Israel dengan mengambil jalan tengah: two state solution. Karena itu, Pemerintah Indonesia dianggap oleh UEA sebagai negara yang bisa dijadikan penengah untuk mendamaikan dua belah pihak yang berkonflik. Agar mendirikan dua negara (Palestina-Israel) yang hidup damai dan berdampingan.
Posisi politis Indonesia inilah yang dipandang UEA sebagai kekuatan untuk “menghipnotis” negara-negara yang tergabung dalam OKI. Bahwa Indonesia yang notabene negara besar berpenduduk mayoritas muslim bisa dijadikan sebagai sahabat oleh penguasa Abu Dhabi di tengah “prahara” langkah otoritas negara itu melakukan normalisasi hubungan dengan Israel.
KUTUB PERSELISIHAN
Meski “dibumbui” dengan tujuan menekan Israel untuk menghentikan aneksasi terhadap wilayah Tepi Barat, kebijakan UEA menormalisasi hubungan dengan negara yang mayoritas berpenduduk Yahudi pada September 2020 itu memperuncing dua kutub perbedaan di internal negara-negara yang tergabung dalam OKI. Satu pihak mendukung langkah tersebut secara terang-terangan. Ada pula kelompok negara yang gamblang menolak langkah UEA.
Negara-negara yang mendukung dan ikut melakukan normalisasi hubungan dengan Israel itu antara lain Sudan, Bahrain, Mesir, dan Yordania. Sementara penolaknya yang gigih yakni Palestina dan Iran.
Sedangkan Turki secara gamblang menolak normalisasi tersebut. Tetapi negara yang dipimpin Recep Tayyip Erdogan itu tetap membangun hubungan diplomatik, politik, dan ekonomi dengan Israel. Sementara Arab Saudi tidak secara terang-terangan mendukung normalisasi. Tetapi negara yang menganut sistem monarki absolut itu mengizinkan pesawat Israel terbang melintasi wilayahnya saat peresmian normalisasi hubungan antara Abu Dhabi dan Tel Aviv.
PENGHIANATAN
Dalih UEA dalam mengambil kebijakan normalisasi untuk menghentikan Zionis menganeksasi wilayah Tepi Barat hanyalah alasan belaka. Pada kenyataannya, meski sempat terlibat perang, hubungan dua negara sudah terbangun sejak lama. Jadi, alasan itu tidak dapat diterima oleh akal sehat.
Realitasnya, pasca peresmian normalisasi hubungan UEA-Israel di Gedung Putih, Amerika Serikat (AS), Perdana Menteri Benjamin Netanyahu menampik bahwa ia akan menghentikan aneksasi Tepi Barat. Dia hanya menunda langkah tersebut. Netanyahu menunggu waktu yang tepat untuk “merampas” wilayan Palestina itu.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: