UU Ciptaker Penyelamat dari Kiamat Internet

UU Ciptaker Penyelamat dari Kiamat Internet

Samarinda, nomorsatukaltim.com- Kiamat internet. Dua kata itu disampaikan Prof Henri Subiakto, staf ahli Menkominfo Bidang Komunikasi dan Media Massa. Ketika itu Henri menjadi salah satu narasumber pada acara KPID Kaltim yang digelar secara daring, Kamis (22/10).

Henri adalah pakar komunikasi politik dan dosen di Universitas Airlangga Surabaya (Unair). Ia tercatat sudah lama menjadi staf ahli Menkominfo. Bahkan sebelum menteri yang sekarang; Jhonny G Plate.

Jika benar apa yang disampaikan Henri bahwa Indonesia akan segera mengalami kiamat internet, tentu dampaknya akan banyak dirasakan masyarakat luas. Mengingat saat ini, banyak aktivitas harian masyarakat yang menggantungkan diri kepada internet. Termasuk perusahaan media yang berbasis digital dan aplikasi jual beli online.

Lebih mengejutkan lagi, Henri juga menyampaikan jika UU Cipta Kerja adalah peluang untuk terbebas dari kiamat internet itu. Lalu apa hubungannya UU yang kini tengah ramai ditolak dengan menyelamatkan masyarakat dari kiamat internet?

Ketika dihubungi, Henri menjelaskan kepada Disway Kaltim dan nomorsatukaltim.com soal penataan frekuensi. Mulainya dari situ. Menurutnya, kalau tidak ada penataan frekuensi dengan refarming frekuensi untuk menyediakan broadband baru, bisa saja kiamat internet itu benar-benar akan terjadi.

Baca juga: Memajukan Ekowisata, Menjaga Kehidupan Bekantan

Karena kebutuhan akan broadband meningkat terus. Ini lantaran masyarakat yang menggunakan internet juga terus meningkat.Broadband itu, kata dia, bagian dari frekuensi.

“Dulu tidak terbayangkan penggunan frekuensi seperti sekarang. Dulu frekuensi yang pakai HT, pesawat terbang, antar pesawat, laut, radio dan televisi. Sekarang semua orang menggunakan itu. Menelpon pun pakai frekuensi. Pakai aplikasi menggunakan broadband. Semakin banyak penggunanya, demand broadband jadi lebih besar,” jelasnya.

Henri menjelaskan, golden frekuensi yang sekarang eksis diberikan kepada televisi. Frekuensi paling bagus untuk internet itu digunakan televisi. Itu frekuensi 700 mhz. TV ini sudah puluhan tahun menduduki frekeunsi secara boros. Itu yang harus ditata ulang.

Sebetulnya, kata Prof Henri, di Indonesia mau ditata sejak Menkominfo Tifatul Sembring. Tapi tidak bisa terlaksana karena tidak ada landasan hukumnya. Landasan hukumnya harus berupa undang-undang. “Sementara UU penyiaran mentok terus”.

Karena pengesahaan UU penyiaran melalui jalan panjang dan buntu, maka Kominfo mencoba menggunakan payung hukum Peraturan Menteri (Permen). Namun sayang, Permen itu juga gagal di Mahkamah Konstitusi (MA). Karena tidak boleh pakai Permen, harus UU.

“Maka kita nunggu UU. Disitu UU Omnibus dibuatkan sebuah pasal 60A. Analog switch off. Dengan itu pemerintah punya legitimasi untuk menata. Frekuensi yang dulu 8 mhz untuk 1 TV bisa dipakai sampai 12 TV. Jadi ada efisiensi penggunaan frekuensi”.

Nah, ada sisa frekuensi yang kosong. Itulah yang menurut Henri bisa digunakan untuk kepentingan digital. Ada pengalihan yang dulunya untuk TV ke ekonomi digital. “Kalau tidak ada penataan bisa kacau, karena permintan frekeunsi tinggi sekali. Akan macet. Itu yang disebut kiamat internet,” jelasnya.

Ia memperkirakan pada 2025 akan terjadi defisit hingga 1.310 mhz. Kalau sampai beneran angka seperti itu terjadi, imbasnya akan memunculkan kemacetan jaringan. Buffering berlebihan. Bukan hanya lemot, tapi lebih dari lemot. Karena penggunannya terlalu banyak. Langkah antisipasinya disediakan broadband baru. Itu yang dipakai televisi saat ini dan ditata ulang.

Lagi pula, berdasarkan pasal 60A di UU Omnibus Law Ciptaker klausulnya tegas. Paling lambat dua tahun sejak UU disahkan, lembaga penyiaran sudah harus bermigrasi. Dari teknologi analog ke teknologi digital. Apa yang akan terjadi kalau ditunda?

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: