Autokritik Calon Tunggal di Pilkada 2020

Autokritik Calon Tunggal di Pilkada 2020

OLEH: HAIDIR*

Pemilihan kepala daerah (pilkada) di Kutai Kartanegara (Kukar) pada 9 Desember 2020 menjadi salah satu daerah yang akan menghadapkan antara pasangan calon tunggal melawan kolom kosong. Sebagian masyarakat yang semula mengharapkan agar terjadi kompetisi beberapa pasangan calon pada Pilkada Kukar ternyata tidak bisa diwujudkan. Beberapa pasangan calon yang semula berjuang untuk mendapatkan dukungan baik melalui calon perseorangan maupun melalui partai politik terpaksa berhenti di tengah jalan akibat dinyatakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kukar tidak memenuhi persyaratan pencalonan. Beberapa pasangan calon perseorangan gagal melanjutkan pendaftaran di KPU. Karena jumlah dukungan belum memenuhi syarat minimal yang ditetapkan KPU.

Sementara pasangan calon lain yang maju melalui jalur partai politik juga tidak dapat memenuhi syarat minimal kursi atau suara partai yang telah ditetapkan oleh undang-undang dan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU). Dari 45 jumlah kursi di DPRD Kukar yang diperoleh partai politik, 40 kursi melalui kebijakan pimpinan pusat partai politik mendukung satu pasangan calon. Sisanya lima kursi mendukung pasangan calon yang lain. Dengan syarat minimal 20 persen jumlah kursi yang jika dikonversi menjadi delapan koma sekian dan dibulatkan menjadi sembilan kursi untuk menjadi persyaratan pencalonan, maka praktis hanya satu pasangan calon saja yang memenuhi persyaratan pencalonan sebagai calon kepala daerah yang akan mengikuti pilkada.

Hal inilah yang menjadi sebab munculnya kekecewaan sebagian masyarakat yang menghendaki pilkada menghadirkan kompetisi beberapa pasangan calon. Membaca pandangan masyarakat yang kecewa dengan proses ini, maka apa yang menjadi dasar pemikiran mereka cukup beralasan. Masyarakat sebenarnya masih bisa memaklumi jika terjadinya pasangan calon tunggal ini sebagai akibat tidak adanya pasangan calon lain yang mau berkompetisi dalam pilkada dengan dasar pertimbangan apa pun. Tapi masyarakat mengetahui dengan jelas bahwa terjadinya pilkada dengan pasangan calon tunggal di Kukar karena terkesan ada upaya pihak tertentu untuk mematikan kesempatan pasangan calon lain dengan memborong hampir seluruh rekomendasi partai politik kepada satu pasangan calon saja.

Pilkada Kukar yang menjelang pendaftaran di KPU memungkinkan terjadi kompetisi dua pasangan calon dengan komposisi satu pasangan calon didukung oleh delapan partai politik dengan akumulasi 35 kursi dan satu pasangan calon diusung oleh dua partai politik dengan akumulasi 10 kursi. Tiba-tiba mengalami perubahan. Masyarakat Kukar memahami bagaimana ritme perubahan tersebut dan melihat itu sebagai perbuatan politis yang tidak sehat. Dalam etika administrasi, bahwa form PKPU B1 KWK yang dikeluarkan oleh pimpinan pusat partai politik kepada pasangan calon seyogianya sudah final. Karena surat keputusan itu dikeluarkan dan hanya akan diberikan kepada pasangan calon tertentu. Setelah seluruh proses yang disyaratkan oleh partai politik dilalui dan dipenuhi oleh pasangan calon. Partai politik yang mengeluarkan B1 KWK lebih dari satu dan diberikan kepada lebih dari satu pasangan calon sebenarnya telah melanggar UU dan PKPU yang hanya membolehkan kepada partai politik untuk mengusung satu pasangan calon saja pada pilkada dalam satu daerah, di satu provinsi atau kabupaten/kota. Alhasil, maka terjadilah pilkada di Kukar yang memaksakan pasangan calon tunggal harus berhadapan dengan kolom kosong. Bagi masyarakat Kukar, pengalaman ini tentu saja tidak menyenangkan. Karena pertama kali terjadi. Banyak orang yang berharap agar hal ini tidak pernah terulang lagi pada pilkada-pilkada yang akan datang.

Karena kondisi yang demikian, maka terjadi gejolak di tengah masyarakat. Sebagian dari mereka berusaha memperjuangkan kemenangan kolom kosong sebagai bentuk perlawanan oligarki penguasa dan untuk menghukum mereka yang telah mencoba mengebiri kedaulatan masyarakat menentukan pemimpin daerah pilihan mereka. Kebulatan tekad sebagian masyarakat untuk memenangkan kolom kosong semakin kuat ketika visi misi pasangan calon tunggal kurang berbobot, kapasitas kepemimpinan yang belum memadai bagi harapan masyarakat, serta bayangan akan lemahnya kemandirian dan komitmen untuk memajukan daerah dari pasangan calon tunggal. Sebagai akibat terlalu banyak partai politik yang harus diakomodir dalam kebijakan jika terpilih sebagai kepala daerah. Kontrol dari parlemen yang diyakini lemah kepada pemerintahan karena ikatan dukungan mayoritas partai politik pada pasangan calon menjadi bagian penting pertimbangan yang melatarbelakangi ketidakpercayaan masyarakat kepada pasangan calon tunggal di Pilkada Kukar.

Tren pilkada dengan pasangan calon tunggal dari tahun ke tahun memang jumlahnya terus bertambah. Keadaan demikian terjadi sebagai akibat ketika regulasi mengakomodir peluang adanya pasangan calon tunggal. Pilkada dengan ketentuan pasangan calon semula tidak diberi ruang oleh undang-undang dan produk hukum turunannya. Namun dengan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 100/PPU-XIII/2015 yang mengabulkan permohonan uji materi soal pasangan calon tunggal dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota, maka pasangan calon tunggal mendapat dasar yang kuat untuk diakomodir dalam pelaksanaan pilkada.

Berbeda dengan tujuan utama permohonan agar pasangan calon tunggal diberikan ruang dalam pilkada yang disampaikan oleh Prof. Effendi Gazali dan kawan-kawan ke MK agar proses demokrasi dapat berjalan dengan baik untuk menghindari adanya pasangan calon “boneka” pada pelaksanaan pilkada, ternyata tidak bisa dengan serta-merta menyelesaikan masalah adanya pasangan calon boneka. Karena tidak ada jaminan kuat dari keputusan MK telah berhasil menutup celah bagi hadirnya pasangan calon boneka.

Persoalan baru muncul akibat keputusan MK tersebut pada pelaksanaan pilkada: adanya pasangan calon yang “membeli” seluruh surat keputusan rekomendasi partai politik untuk mengusung pasangan calon tunggal. Sebagai persoalan baru, fakta adanya pasangan calon tunggal sejak putusan MK dari pilkada ke pilkada serentak berikutnya sampai menjelang pelaksanaan Pilkada 2020 ini terus bertambah jumlahnya di beberapa daerah.

Autokritik Pilkada

Jika ini terus berlanjut, maka ada beberapa hal yang menjadi persoalan pilkada ke depan yang harus dihadapi. Antara lain: pertama, jumlah pilkada dengan pasangan calon tunggal akan terus meningkat. Hal ini tentu tidak baik. Karena sudah menjauhkan makna demokrasi pada pelaksanaan pilkada di Indonesia.

Kedua, prinsip kompetisi antara pasangan calon melawan pasangan calon (manusia vs manusia) akan kehilangan esensinya ketika pasangan calon melawan kolom kosong (manusia vs kewenangan gubernur/Mendagri menunjuk pejabat kepala daerah).

Ketiga, pilkada akan dikuasai oleh pihak yang memiliki lobi kuat, pemilik kapital dan broker politik, yang pada akhirnya sangat berbahaya bagi kemandirian para kepala daerah. Dalam menjalankan pemerintahan dan pembangunan daerah. Karena akan dikendalikan oleh para cukong-cukong politik (sponsor politik).

Keempat, chek and balance dari partai politik melalui DPRD akan semakin lemah. Terutama di daerah yang pasangan calon tunggal didukung oleh seluruh partai politik yang memiliki kursi di parlemen. Sebagai akibat deal-deal politik pada saat proses pencalonan. Demi memuluskan langkah pasangan calon tunggal. Untuk mendapat restu dari seluruh partai politik.

Kelima, akan sangat memungkinkan aturan mengenai dukungan pasangan calon melalui perseorangan semakin dibuat berat dan ketat. Sebagai upaya pihak partai politik menutup celah dan mematikan langkah pihak tertentu. Yang akan menghindari dukungan partai politik yang dianggap berat dan terkesan transaksional dan memilih jalan lebih mudah melalui dukungan perseorangan.

Keenam, pada Pilkada 2020 terjadi di lebih seratus daerah. Di mana DPP partai politik mengeluarkan lebih dari satu form PKPU B1 KWK, dan lebih dari 20 daerah yang akhirnya menyelenggarakan pilkada dengan pasangan calon tunggal. Di mana B1 KWK seluruh partai politik diberikan hanya kepada satu pasangan calon. Ini artinya akan terjadi ketidakpercayaan kepada partai politik. Karena mampu dikondisikan dengan lobi atau juga politik transaksional.

Ketujuh, membuka peluang adanya pasangan calon tunggal. Di sisi lain, hal ini memberikan ruang otoritas gubernur atau Mendagri. Untuk menunjuk pejabat kepala daerah. Jika kolom kosong memenangkan pilihan masyarakat pada pilkada. Ini adalah hal yang ambiguitas. Harapan demokrasi dan spirit pilkada langsung menghendaki agar masyarakat memilih langsung siapa pemimpin mereka di tiap-tiap daerah.

Adanya opsi kolom kosong dan aturan penunjukan pejabat kepala daerah oleh gubernur atau Mendagri ketika kolom kosong memenangkan pilihan masyarakat merupakan pengambilalihan setengah hak masyarakat. Untuk menentukan sendiri siapa pemimpin yang mereka pilih di daerahnya masing-masing. Dalam penunjukkan langsung pejabat kepala daerah setelah kolom kosong memenangi pilihan masyarakat, maka bobot, bibit dan kapasitas pejabat kepala daerah telah menjadi hak sepenuhnya gubernur atau Mendagri. Bukan lagi menjadi milik masyarakat.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: