COVID-19 dan Nasi Bubur

COVID-19 dan Nasi Bubur

OLEH: M. DUDI HARI SAPUTRA*

Ketika wabah COVID-19 semakin parah dan tidak terkendali. Sektor ekonomi yang paling berdampak adalah ekspor-impor. Hampir semua negara melakukan proteksi ke dalam dan keluar. Untuk menjaga ketahanan ekonomi dan masyarakat. Dari ancaman pandemi yang semakin parah.

Logikanya sederhana. Pertumbuhan atau penyelamatan ekonomi bisa dijaga dengan memperkuat pasar domestik (dalam negeri). Maka tidak aneh negara-negara yang kuat market domestiknya tak terkontraksi begitu dalam. Utamanya adalah Tiongkok. Yang tetap mengalami pertumbuhan positif walau menurun tajam.

Tapi bagaimana dengan negara seperti India atau Indonesia atau bahkan AS yang pasar domestiknya besar tapi pertumbuhan ekonominya masih negatif, bahkan India dan AS menembus negatif 2 digit?

Kuncinya ada pada sektor keamanan keberlangsungan kesehatan masyarakatnya. Keamanan dalam term ilmu hubungan internasional (HI) ada yang tradisional dan non-tradisional. Dalam konteks ancaman pandemi COVID-19, hal ini masuk pada kategori keamanan yang sifatnya non-tradisional.

Pemerintah Tiongkok menjadi negara yang paling berhasil membatasi pergerakan penyebaran virus COVID-19 di negaranya. Sehingga ketika kasus di Wuhan sudah turun drastis dan cenderung stuck, pasar domestik Tiongkok kembali bergairah. Stimulus pemerintah cepat menjadi roda pertumbuhan ekonomi. Karena masyarakat tenang dalam menjalani kegiatan ekonomi.

Berbeda dengan India, AS dan Indonesia. Walau pasar domestik besar dan stimulus ekonomi dilakukan, tapi pemerintah dianggap gagal dalam mengatasi penyebaran COVID-19. AS mencatat kasus tertinggi di dunia karena mencapai 7 juta, India 6 juta, dan Indonesia 300 ribu orang.

Jadi, di sini pandangan realisme HI yang relevan. Bahwa ekonomi bukanlah dasar. Melainkan keamanan. Dalam konteks ini adalah keamanan dari ancaman pandemi. Karena logikanya seperti ini: orang bisa cari makan jika dia bisa merasa bebas dari ancaman. Baik itu ancaman seperti perang/konflik, bencana alam, termasuk bencana pandemic. Sebab jika aktivitas ekonomi dipaksakan di tengah ancaman yang semakin luas, orang tidak akan tenang dan tidak akan bisa melakukan aktivitas ekonomi. Ibarat Anda mau beli beras. Tapi siap-siap ditembak ketika ke pasar.

Logika atau pemahaman seperti ini yang kurang dipahami oleh Pemerintah Indonesia di awal. Ketika dihadapkan pilihan dilematis: pertumbuhan ekonomi atau pembatasan manusia untuk mengurangi penyebaran pandemi corona?

Makanya di awal pandemi, saya selalu menulis cepat segera lakukan karantina. Utamanya Jakarta. Jangan sampai menyebar ke provinsi-provinsi lain. Hanya struktur ekonomi kita dari awal sudah salah. Karena pusat ekonomi dan pemerintahan adalah Jakarta. Ketika Jakarta shut down, maka shut down-lah Indonesia.

Jujur, ini dosa Orde Baru (Orba) yang harus kita terima. Padahal Orba dikuasai orang-orang militer. Harusnya mereka paham. Memusatkan kegiatan ekonomi dan pemerintahan pada satu tempat itu rentan sekali. Karena mudah dikuasai. Yakni kuasai Jakarta. Tamatlah Indonesia.

Berbeda dengan Tiongkok. Mereka segera mengarantina Wuhan. Karena hal itu tidak masalah. Dibanding jika menyebar ke provinsi-provinsi Tiongkok lain. Sebab Wuhan masih diurutan ke-7 dari struktur GDP Tiongkok. Sehingga tidak terlalu berpengaruh besar. Daripada semakin menyebar ke provinsi yang menjadi pusat kekuatan ekonomi Tiongkok lain seperti Guangdong, Shandong, dll.

Lalu bagaimana solusinya bagi Indonesia? Pemerintah sebenarnya sudah dalam keadaan kepalang basah dengan pandemi. Mau melakukan pembatasan sudah terlambat. Karena menyebar ke semua provinsi. Mau memaksakan stimulus ekonomi bahkan dengan memaksakan pilkada agar terjadi peningkatan konsumsi domestik pun korban terus berjatuhan. Hal ini membuat orang secara alami membatasi diri.

Ibarat sedang sakit. Level kita bukan lagi pencegahan. Melainkan penyembuhan dan kekebalan diri. Jadi kuncinya tinggal seberapa cepat vaksin dan obat COVID-19 dirilis serta seberapa kuat imunitas diri dan ekonomi.Ibarat nasi yang sudah menjadi bubur, tinggal buburnya mau diapakan sekarang? (*Dosen Universitas Kutai Kartanegara)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: