Reforma Agraria hanya Angan-Angan
INDONESIA sejak dulu dijuluki sebagai negara agraris. Julukan ini tentu bukan tanpa sebab. Melainkan karena begitu luasnya lahan pertanian yang dimiliki oleh kaum tani Indonesia.
Sejak era Orde Baru hingga rezim Presiden Jokowi saat ini, program reforma agraria selalu digaungkan dan menjadi janji kampanye. Demi merebut suara dari kaum tani.
Di periode keduanya bersama Wakil Presiden KH Maruf Amin, program reforma agraria kembali dilanjutkan dengan mengusung visi Indonesia Maju. Secara garis besar, program reforma agraria di masa pemerintahan Presiden Jokowi menargetkan terdistribusinya tanah seluas 9 juta hektare melalui skema Tanah Obyek Reforma Agraria (TORA).
Langkah-langkah untuk mempercepat implementasi reforma agraria telah diambil. Seperti Peraturan Presiden (Perpres) 88/2017 tentang Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan, dan Perpres 86/2018 tentang Reforma Agraria. Hanya saja, realisasi dari kedua peraturan ini belum sesuai dengan harapan. Program reforma agraria di Indonesia belum menunjukkan keberhasilan dalam konteks merombak ketimpangan penguasaan dan kepemilikan tanah di Indonesia.
Sejauh ini, jika dilihat dari data Badan Pusat Statistik per 2015, total lahan pertanian di Indonesia hanya 8.087.393 hektare. Namun pertanyaannya, apakah lahan itu adalah milik kaum tani/buruh tani? Untuk menjawab hal ini, sebagai seorang insan akademis tentu perlu untuk kembali melihat dan membuka data.
Menurut peneliti Institut Pengembangan Ekonomi dan Keuangan (Indef) Imaduddin Abdullah, rata-rata kepemilikan lahan oleh petani di Indonesia hanya mencapai 0,8 hektare. Angka ini masih kalah jauh dibandingkan dengan Jepang 1,57 hektare, Korea Selatan 1,46 hektare, Filipina 2 hektare, dan Thailand 3,2 hektare. Padahal syarat utama dari reforma agraria adalah kepemilikan dan ketersediaan tanah.
Sampai saat ini, permasalahan yang berkaitan dengan kaum tani belum juga usai. Ditandai dengan adanya konflik-konflik agraria. Baik itu konflik lama maupun konflik yang baru. Praktik-praktik penggusuran, diskriminasi hukum, kriminalisasi dan bentuk-bentuk pelanggaran terhadap hak asasi petani masih menimpa para petani sampai dengan masyarakat adat.
Bahkan kekerasan dan kriminalisasi terjadi kepada pejuang petani. Misalnya saja yang terjadi kepada Ahmad Azhari pada 27 Januari 2018. Sekitar pukul 09.00-10.00 WIB, ia datang ke tempat kejadian perkara karena dihubungi oleh Kasatintel Polres Merangin. Untuk memantau situasi di areal konflik agraria antara warga Desa Renah Alai. Ternyata bukan warga Desa Renah Alai yang sedang berkonflik.
Sesampai di sana, ia malah dianiaya oleh warga: tangannya diikat dan ditangkap tanpa ada surat penangkapan. Keselamatannya tidak dilindungi oleh aparat kepolisian ketika terjadi tindakan penganiayaan oleh warga. Bahkan terjadi pembiaran oleh oknum aparat kepolisian terhadap tindakan penganiayaan kepada Azhari. Kemudian Ahmad ditangkap, ditahan, dan ditetapkan sebagai tersangka oleh Polres Merangin.
Kasus yang terjadi kepada Azhari bukanlah kasus pertama dan terakhir. Kasus kriminalisasi terhadap pejuang tani hingga 2020 terus terjadi. Hal ini semakin menguatkan kegagalan rezim ini dalam mewujudkan reforma agraria dan kedaulatan pangan. Bahkan dengan terus bernafsunya pemerintah dan DPR untuk segera mengesahkan Omnibus Law RUU Cipta Kerja, menegaskan ketidakberpihakan pemerintah kepada kaum tani.
Terkait reforma agraria dan kedaulatan pangan, Omnibus Law RUU Cipta Kerja justru memuat ketentuan-ketentuan yang bertentangan dengan UUPA 1960. Seperti penambahan Hak Guna Usaha (HGU) hingga 90 tahun, pembentukan bank tanah, dan pasal-pasal lainnya. Sementara terkait kedaulatan pangan, Omnibus Law RUU Cipta Kerja semakin berupaya meliberalisasi sektor pangan. Yakni dengan mengadopsi kebijakan pasar bebas yang didorong oleh WTO.
Indikasi ini dapat dilihat dari pasal-pasal tentang penghapusan ketentuan impor pangan dan aktor produksi pangan di dalam Undang-Undang Pangan dan Undang-Undang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, yang selama ini digugat oleh World Trade Organization (WTO). Karena memproteksi petani di Indonesia.
Dalam momentum menuju Hari Tani tahun 2020 ini, perlu kiranya kita kembali menguatkan barisan untuk bersolidaritas terhadap kaum tani dan buruh tani. Karena sejatinya dengan keberadaan petani di desa, pelosok kampung dan berbagai daerah lainnya, kebutuhan pangan bangsa ini bisa terpenuhi.
Terakhir, saya ingin menyampaikan bahwa jika negeri ini dilanda krisis yang sangat parah, rakyat akan berebut beras dan nasi untuk terus bertahan hidup. Di situlah kita akan sadar bahwa jutaan hektare lahan tambang tak bisa membuat kita bertahan hidup. Karena kita memakan nasi. Bukan batu-bara. (*/zul)
(*Koordinator Kajian Strategis Aliansi Garuda Mulawarman)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: