Indonesia dalam Bayang-Bayang Resesi

Indonesia dalam Bayang-Bayang Resesi

Pemberlakuan kembali PSBB Jakarta diyakini dapat menurunkan konsumsi rumah tangga penduduk Jakarta. Padahal, indikator terbesar pertumbuhan ekonomi Indonesia masih ditopang oleh sektor konsumsi rumah tangga tersebut.

“Konsumsi rumah tangga akan turun. Masyarakat akan tahan belanja apalagi pemerintah dinilai gagal atasi pandemi. Sehingga muncul PSBB yang lebih ketat,” sambungnya.

Hal serupa dikuatkan oleh ekonom lainnya dari Center of Reform on Economic (CORE) Indonesia, Yusuf Rendy Manilet. “Saya kira memang sulit menambah daya ungkit ekonomi dalam waktu 2 minggu,” kata Yusuf.

Apalagi sudah berbulan-bulan ini tercatat belum ada perkembangan yang signifikan atas aktivitas masyarakat di luar rumah. Menurut laporan Google Mobility Report sampai dengan September, pertumbuhan aktivitas masyarakat yang berpergian ke pusat perbelanjaan ritel dan pusat grosir baru tumbuh sekitar 1-4 persen. Padahal, sejak Juni PSBB sudah dilonggarkan oleh pemerintah. Sehingga, menurut Yusuf, yang menyebabkan sulitnya RI lepas dari jurang resesi karena ada daya beli yang menurun di masyarakat.

“Padahal seperti yang kita tahu pelonggaran PSBB sudah dilakukan sejak Juni. Namun karena daya beli masyarakat yang melemah makannya pelonggaran ini kemudian tidak serta merta berdampak pada peningkatan konsumsi,” paparnya.


Soal resesi, memang tidak ada definisi yang zakelijk. Namun konsensus para ekonom menyebutkan jika ekonomi mengalami kontraksi sepanjang 2 kuartal berturut-turut, maka sudah bisa dikatakan negara tersebut mengalami resesi.

Hanya saja jika mengacu pada data Produk Domestik Bruto (PDB), harus menunggu 2 kuartal. Jadi fenomena resesi baru diketahui setelah terjadi. Hanya saja ada beberapa indikator yang bisa digunakan untuk memprediksi apakah suatu negara berpotensi resesi atau tidak: data-data ekonomi yang sifatnya bulanan atau memiliki frekuensi rilis yang tinggi.

Mengacu pada data-data tersebut, apakah ekonomi Indonesia bakal mengalami resesi? Sebagai negara dengan populasi terbesar keempat di dunia, Indonesia memiliki lebih dari 269 juta penduduk dan populasi middle class yang terus tumbuh. Wajar saja jika ekonomi Tanah Air ditopang oleh konsumsi domestik.

Indikator konsumsi ini bisa dilihat dari berbagai indikator yang merujuk pada daya beli masyarakat. Pertama, inflasi. Memasuki Juli 2020, BPS mencatat RI mengalami deflasi 0,1 persen (month on month/mom).

Deflasi pun berlanjut ke Agustus. Tingkat inflasi Juli tercatat minus 0,05 persen (mom). Bank Indonesia (BI) memperkirakan deflasi masih akan berlanjut di September.

Dalam Survei Pemantauan Harga (SPH) minggu kedua September, BI memperkirakan akan terjadi deflasi sebesar 0,01 persen (mom). “Dengan perkembangan tersebut, perkiraan inflasi September 2020 secara tahun kalender sebesar 0,92 persen (ytd), dan secara tahunan sebesar 1,46 persen (yoy).” tulis BI.

Penyumbang utama deflasi pada periode laporan antara lain berasal dari komoditas telur ayam ras dan bawang merah masing-masing sebesar minus 0,03 persen (mom), daging ayam ras sebesar minus 0,02 persen (mom), jeruk, cabai merah, cabai rawit, dan emas perhiasan masing-masing sebesar minus 0,01 persen (mom).

Pada periode 6 Agustus sampai 11 September, harga bawang merah di pasar tradisional RI telah turun 5,91 persen. Pada saat yang sama, harga telur ayam ras segar juga melemah 4,59 persen. Tak ketinggalan harga daging ayam ras segar juga melorot 4,67 persen.

Dalam 5 tahun terakhir angka inflasi Indonesia tergolong ‘jinak’. Bahkan cenderung berada di bawah sasaran inflasi BI yang ditetapkan di 3 persen plus minus 100 basis poin (bps) untuk tahun ini.

Indikator yang mencerminkan daya beli masyarakat yang tergerus juga tercermin dari angka inflasi inti yang terus melandai. Per Agustus 2020, angka inflasi inti Indonesia sudah berada di 2,03 persen (yoy) dan menjadi yang terendah sejak periode 2015-2020.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: