Adaptasi Pembelajaran Daring
OLEH: ANTHONIUS DHINAR H.W*
Wabah pandemi COVID-19 yang melanda Indonesia sejak Maret 2020 membuat para pelajar di dunia pendidikan mulai dari tingkat paling bawah hingga pendidikan tinggi mengalami perubahan metode pembelajaran. Pembelajaran yang semula dilakukan secara tatap muka tiba-tiba berganti menggunakan sistem daring atau yang sering diistilahkan sebagai pembelajaran jarak jauh.
Perubahan besar sistem pembelajaran membuat para pelajar atau mahasiswa dituntut beradaptasi dari sistem tatap muka menjadi sistem pembelajaran daring tersebut. Kedua sistem ini sama-sama memiliki kekuatan dan kelemahan. Tergantung dari banyak faktor. Seperti kemauan pribadi para pelajar, bahan materi, tenaga pendidik, hingga mencakup ketersediaan fasilitas pendanaan maupun fasilitas pendukung di suatu daerah.
Pembelajaran daring tidak terlepas dari bahasan platform atau media dalam pembelajaran tersebut. Banyak platform penyedia jasa pembelajaran daring secara gratis yang dapat digunakan para pelajar dan mahasiswa. Seperti Zoom, Google Meet, Google Class atau yang lain.
Beberapa platform tersebut juga tidak terlepas dari keunggulan dan kelemahannya masing-masing. Penyedia platform itu menjadi sorotan bahkan mampu menduduki peringkat atas aplikasi paling banyak diunduh dalam beberapa toko aplikasi daring di internet. Sejak dahulu platform ini tidak pernah diduga akan melejit begitu saja. Mengingat sistem pembelajaran di Indonesia awalnya masih belum “melek” teknologi. Apalagi menggunakan sistem pembelajaran jarak jauh sebagai medianya. Mungkin pandemi ini secara tidak sengaja akan “menaikkan” derajat sistem pendidikan di Indonesia. Siapa tahu?
Menurut pengamatan yang dilakukan penulis, berbagai kendala yang dialami pelajar maupun mahasiswa dalam mengikuti perkuliahan daring adalah tidak stabilnya jaringan internet, kuota internet yang terbatas, dan beberapa hal non-teknis yang biasanya muncul dari habit si pelajar dan mahasiswa. Seperti malas, telat bangun, dan lain sebagainya. Namun dalam sisi persentase, kendala tertinggi pelajar dan mahasiswa adalah ketersediaan jaringan internet. Wajar jika hal ini merupakan kendala utama pelajar dan mahasiswa. Mengingat sistem jaringan telekomunikasi yang masih belum tersebar di seluruh pelosok Indonesia dengan baik. Hal ini terutama terdapat di beberapa wilayah terdepan Indonesia.
Menurut pengalaman penulis sendiri, yang sekaligus sebagai pengajar di salah satu kabupaten terdepan di Kalimantan Timur, jaringan internet dalam satu kabupaten saja masih belum bisa mencakup seluruh area wilayah tersebut. Namun, sebenarnya hal ini wajar. Mengingat kondisi topografi, tutupan hutan, dan faktor keterjangkauan lain yang masih kurang mendukung di wilayah ini. Tetapi setidaknya faktor teknis ini masih bisa diatasi dengan beberapa usaha menempatkan posisi belajar di tempat dengan jaringan internet yang stabil dan baik.
Jika faktor teknis dalam pembelajaran daring masih bisa diupayakan, lain halnya dengan faktor non-teknis. Kunci utama dalam mengatasi rasa bosan, jenuh dan berbagai kendala tersebut adalah dengan meningkatkan kapasitas adaptasi kita. Kita harus mampu beradaptasi dengan perubahan. Caranya, memunculkan semangat dalam diri bahwa kita haus terhadap ilmu pengetahuan serta selalu berpikir untuk mengosongkan gelas. Bila seseorang selalu merasa sebagai gelas yang kosong, maka akan dengan mudah menerima materi baru dari berbagai sumber. Seperti internet (Google), buku, jurnal, skripsi, tesis, YouTube, dan media-media lainnya. Menurut pengamatan secara umum dalam kelas yang penulis dampingi, pelajar dan mahasiswa ini sudah cenderung mengusahakan dirinya untuk mendapatkan materi sendiri. Terlepas dari apa yang pengajar sampaikan saat pembelajaran tatap muka secara daring.
Dalam mengandalkan Google, kita sudah bisa menerima jawaban dari apa yang kita ragukan atau apa pun yang kita tidak pahami. Hampir semua materi dari bidang apa pun ada di dalamnya. Oleh karena itu, kejenuhan datang dalam menghadapi pembelajaran daring dapat diatasi dengan melakukan variasi belajar dengan mengupayakan belajar mandiri. Sesuai dengan kenyamanan kita.
Pada akhirnya, pelajar atau mahasiswa yang memiliki sikap dan semangat yang tinggi tersebut otomatis akan terus berpikir positif dan mengesampingkan zona nyaman yang pada dirinya, serta akan memacu diri untuk terus berkreasi, berbuat, bertindak, dan menghasilkan sesuatu. (*Dosen Politeknik Sinar Mas Berau Coal)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: