Pilkada, Pandemi, dan Pengalaman Negara Lain (2)
OLEH: HERDIANSYAH HAMZAH*
Banyak kalangan yang memupuk optimisme pelaksanaan pilkada di masa pandemi COVID-19. Hanya dengan melihat kisah sukses Korea Selatan (Korsel) dan Polandia. Optimisme boleh. Tapi harus disertai dengan langkah-langkah strategis yang efektif dan efisien. Sebagai sebuah pengalaman, kisah kedua negara tersebut sah-sah saja dijadikan acuan. Namun pengalaman itu tidak boleh kita telan mentah-mentah untuk dipraktekan di Indonesia.
Ada beberapa catatan dalam menyaring kisah sukses di kedua negara tersebut, antara lain: pertama, jumlah partisipan atau pemilih. Berdasarkan data per Juni 2020, jumlah Data Penduduk Potensial Pemilih Pemilu (DP4) yang diserahkan Kemendagri kepada KPU sebanyak 105,852 juta pemilih. Jumlah ini lebih banyak tiga kali lipat dari pemilih terdaftar Pemilu Presiden Polandia. Dua kali lipat dari jumlah pemilih saat Pemilu Majelis Nasional Korsel. Bandingkan dengan pemilih terdaftar di Korsel yang hanya berjumlah 43.994.247 dan Polandia sebanyak 30.268.543. Jika ingin pilkada nanti berlangsung lancar, maka semua pihak harus bekerja dua kali lipat lebih keras dibanding Korsel dan Polandia.
Kedua, tingkat kepercayaan. Tidak hanya kepada pemerintah. Tetapi juga seluruh perangkat yang terhubung dengan pelaksanaan pilkada di masa pandemi COVID-19. Baik penyelenggara maupun tenaga medis. Namun soal utama tetap saja mengenai kemampuan pemerintah dalam penanganan pandemi COVID-19.
Jumlah kasus COVID-19 di Korsel per 8 April 2020 atau seminggu sebelum pelaksanaan pemilu legislatif untuk memilih majelis nasional pada 15 April 2020 hanya 10.384 kasus. Bahkan penambahan kasus baru setiap hari terus berkurang. Di mana pada tanggal tersebut terhitung hanya terdapat 53 kasus baru. Pun demikian dengan Polandia. Pada 5 Juli atau seminggu menjelang Pemilu Presiden Polandia, jumlah kasus hanya 35.950. Dengan jumlah kasus baru per hari sebanyak 231 kasus.
Bandingkan dengan Indonesia. Per 9 Agustus 2020 ini telah mencapai 125.396 kasus. Dengan jumlah kematian sebanyak 5.723 kasus. Yang berhasil disembuhkan sebanyak 80.952. Grafik penambahan kasus per hari terus meroket. Di mana per 8 Agustus 2020 terhitung terdapat 2.277 kasus baru. Untuk itu, kepercayaan dan rasa aman warga untuk memilih saat pilkada akan berbanding lurus dengan upaya pemerintah dalam menekan jumlah kasus COVID-19. Setidak-tidaknya, grafik jumlah kasus baru per hari terus mengalami penurunan hingga menjelang pemungutan suara.
Ketiga, budaya disiplin masyarakat. Tidak bisa dimungkiri, baik Korsel maupun Polandia, merupakan negara yang cukup disiplin dalam menjalankan protokol kesehatan. Hal ini yang sangat membantu pelaksanaan pemilu di masing-masing negara tersebut. Meski tengah menghadapi pandemi COVID-19.
Dengan jumlah partisipan yang mencapai 105,852 juta pemilih, maka salah satu kunci sukses pilkada serentak sangat ditentukan oleh seberapa disiplin masyarakat dalam menjalankan protokol kesehatan. Jika tidak, pilkada hanya akan menjadi ajang bunuh diri massal. Karena itu, peran pemerintah sangat penting dalam upaya membangun kedisiplinan masyarakat tersebut.
Keempat, regulasi. Dalam rangka membangun kedisiplinan menjalankan protokol kesehatan saat pilkada, penting untuk menguatkan regulasi dalam bentuk larangan dan sanksi terhadap pelanggaran protokol kesehatan. Sayangnya, pilkada serentak ini masih menggunakan desain regulasi dalam kondisi normal. Bukan dalam kondisi tidak normal. Sebagaimana di masa pandemi saat ini. Karena itu, larangan dan sanksi terhadap pelanggaran protokol kesehatan tidak diatur sedemikian rupa dalam regulasi pilkada.
Di Korsel misalnya. Regulasi pemilu sudah didesain. Agar kompatibel dalam kondisi darurat. Sementara di Indonesia, kita belum mempunyai pengalaman yang cukup untuk menggelar proses elektoral dalam kondisi darurat seperti di masa pandemi COVID-19 ini. Bahkan Perppu Nomor 2 Tahun 2020 yang menjadi dasar penundaan pilkada serentak tidak memberikan norma yang memadai untuk melaksanakan pilkada di tengah pandemi.
Kelima, infrastruktur. Dalam konteks pemilu di tengah pandemi COVID-19, ketersediaan infrastruktur bukan hanya dalam konteks infrastruktur pilkada. Tetapi juga termasuk infrastruktur kesehatan. Baik infrastruktur pilkada maupun kesehatan. Harus dipastikan cukup memadai. Termasuk dalam hal optimalisasi daya dukung teknologi.
Dengan demikian, pilkada dapat dijalankan secara efektif dan efisien. Sekaligus mampu memberikan rasa aman bagi pemilih. Pemanfaatan teknologi ini akan membantu manajemen pilkada dengan lebih baik. Pengalaman Korsel, daftar pemilih hanya disusun dalam rentan waktu lima hari. Bandingkan dengan Indonesia. Di mana 90 persen tahapan bisa dihabiskan hanya untuk menyiapkan DPT. Itu belum termasuk DPT Hasil Perbaikan (DPTHP) dan Daftar Pemilih Tambahan (DPTb).
Keenam, anggaran. Yang tidak kalah penting adalah anggaran. Untuk menghadi pilkada di tengah pandemi COVID-19, yang dikualifikasikan sebagai kondisi darurat, maka anggaran setidaknya dikalkulasikan minimal dua kali lipat dari sebelumnya. Hal ini yang dilakukan Korsel dan Polandia. Hal itu harusnya menjadi tanggung jawab penuh pemerintah pusat. Agar persiapan anggaran jauh lebih efektif.
POTENSI PELANGGARAN
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: