Dalih Pelanggaran Netralitas ASN di Pilkada
OLEH: HERDIANSYAH HAMZAH*
Tren pelanggaran prinsip netralitas Aparatur Sipil Negara (ASN) semakin meningkat. Dalam catatan Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN), pelanggaran netralitas tertinggi terjadi pada 2018. Menurut KASN, dari 171 daerah yang melaksanakan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2018, terdapat 491 pelanggaran netralitas ASN. Angka ini jauh lebih besar dibanding Pilkada Serentak 2015 dan 2016. Sementara pada 2020 ini, tahun di mana Pilkada serentak akan dilaksanakan di tengah pandemi COVID-19, sudah sekitar 369 laporan pelanggaran netralitas ASN yang dikirimkan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) kepada KASN. Dalam kurun waktu 1 Januari sampai 15 Juni 2020.
Berdasarkan catatan Bawaslu, kasus-kasus pelanggaran netralitas ASN tersebut bentuknya bervariasi. Mulai dari ASN yang memberikan dukungan melalui media sosial atau media massa dengan 112 kasus, ASN yang melakukan pendekatan maupun mendaftarkan diri pada salah satu partai politik sebanyak 81 kasus, hingga ASN yang melakukan sosialiasi bakal calon melalui alat peraga kampanye (APK) sebanyak 34 kasus. KASN telah mengeluarkan 195 rekomendasi untuk menindaklanjuti 47 laporan dari Bawaslu. Selebihnya masih dalam tahap proses klarifikasi.
Menurut KASN, terdapat 10 instansi daerah yang terbanyak melakukan pelanggaran. Daerah tersebut antara lain Kabupaten Wakatobi 18 pelanggaran, Kabupaten Sukoharjo 11, Provinsi NTB, Kabupaten Dompu tujuh, Kabupaten Bulukumba tujuh, Kabupaten Banggai tujuh, Kemendikbud enam, Kota Makassar lima, Kabupaten Supiori lima, dan Kabupaten Muna lima. Mengingat proses dan tahapan Pilkada yang cukup panjang, maka potensi pelanggaran netralitas ASN tersebut diprediksi akan terus meningkat. Untuk itu, diperlukan upaya konkret. Bagaimana strategi mencegah pelanggaran netralitas tersebut. Agar tetap bisa menjaga kualitas demokrasi lokal lima tahunan ini.
DALIH PELANGGARAN
Tindakan seorang ASN yang melanggar prinsip-prinsip netralitasnya tentu didasari oleh alasan atau motif tertentu. Bahkan bisa disebut sebagai dalih atau alasan pembenar yang dicari-cari. Jika kita urai berdasarkan pengalaman Bawaslu dan KASN dalam menangani dugaan pelanggaran netralitas ASN, beragam dalih dapat kita temukan. Pertama, motif mempertahankan jabatan. Selama ini kepala daerah dianggap memiliki kewenangan penuh dalam menentukan pejabat struktural di daerahnya masing-masing. Karena itu, isu mutasi jabatan kerap kali muncul di setiap perhelatan Pilkada. Isu mutasi ini ditengarai dijadikan sebagai instrumen untuk menguji dan mengendalikan loyalitas para pejabat struktural dan fungsional di daerah. Karena alasan ini pula, tak sedikit ASN yang merasa posisinya terancam akibat “kecenderungan” pilihan politik yang berbeda dengan pimpinannya. Demikian pula sebaliknya, mereka yang gila jabatan, juga berlomba-lomba cari muka di hadapan calon. Dengan harapan mendapatkan posisi strategis jika nanti menang.
Undang-undang telah memberikan perlindungan bagi ASN yang merasa posisi dan jabatannya terancam akibat perbedaan pilihan politik dalam Pilkada. Dalam ketentuan Pasal 71 ayat (2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada disebutkan secara eksplisit, “Gubernur atau wakil gubernur, bupati atau wakil bupati, dan wali kota atau wakil wali kota, dilarang melakukan penggantian pejabat 6 (enam) bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon sampai dengan akhir masa jabatan, kecuali mendapat persetujuan tertulis dari Menteri”.
Frase kata “penggantian” dalam ketentuan ayat ini hanya dibatasi untuk mutasi dalam jabatan. Sedangkan jika terjadi kekosongan jabatan, maka gubernur, bupati, dan wali kota menunjuk pejabat pelaksana tugas. Artinya, ketentuan dalam norma ini seharusnya dapat dijadikan sebagai perisai bagi mereka yang merasa jabatannya terancam akibat “kecenderungan” pilihan politik yang berbeda.
Kedua, kegenitan berpolitik. Sederhanya, mereka yang genit berpolitik ini adalah mereka yang berstatus ASN. Tapi bermental politisi. Secara tersirat, mereka bisa disebut sebagai politisi yang berjubah ASN. Umumnya mereka ini bermain di dua kaki. Satu kaki berhasrat menjadi politisi. Dengan berusaha mengejar jabatan-jabatan publik (elected official). Tapi kaki yang lainnya tetap berusaha mati-matian mempertahankan statusnya sebagai ASN. Ini semacam anomali dalam kenyataan sistem kepegawaian kita. Jika ingin berpolitik, sebaiknya tidak perlu malu dan ragu untuk melepas status ASN. Mundur saja! Itu jauh lebih bermartabat. Pilihan bersayap justru akan menjadi embrio yang akan melahirkan politisi bermuka dua di kemudian hari.
Ketiga, motif ekonomis alias mencari proyek. ASN yang bermental korup cenderung akan menggadaikan prinsip netralitasnya demi mengejar proyek-proyek tertentu di pemerintahan. Mereka paham betul bahwa dukungan terbuka itu adalah tiket masuk untuk mengakses anggaran dan proyek-proyek yang akan dikerjakan si calon setelah menang di pilkada.
Keempat, intimidasi dan tekanan pimpinan. Ini bisa dipahami. Namun tidak bisa dibenarkan. Seorang ASN disumpah dan diajarkan untuk jujur. Bukan diajarkan untuk tunduk terhadap perintah atasannya yang sewenang-wenang. Ini menandakan kerusakan mental yang parah terhadap ASN kita.
Kelima, minimnya pengetahuan tentang netralitas ASN. Namun ini semacam paradoks. Bagaimana mungkin seorang abdi negara justru tidak paham dengan tugas dan tanggung jawabnya?
EFEK JERA
Selain dalih pelanggaran yang disebutkan di atas, salah satu faktor yang menyebabkan perkara netralitas ASN tidak pernah surut, bahkan cenderung semakin meningkat, adalah ketiadaan efek jera (deterrent effect). Sejauh ini, sanksi yang diajutuhkan kepada ASN yang melanggar prinsip netralitas belum cukup memberikan efek jera. Sehingga dikhawatirkan akan terus berulang di kemudian hari.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: