PDAM “Aman”

SUDAH lama tak bertemu Rudi. Sekarang dia jadi wartawan media nasional. Dulu, awal-awal berdirinya Disway Kaltim, Rudi sempat membantu. Dia wartawan yang baik dan termasuk golongan yang langka. Ia pandai mengemas isu.
Rudi orang Jakarta. Bisa dibilang “terdampar” di Balikpapan. Ya, karena menikahi perempuan asal Kota Beriman itu. Akhirnya berdomisili di sini. Itu sudah sejak pertengahan tahun 2000-an.
Dulunya ketika di Jakarta, ia juga wartawan. Saat masuk Kalimantan Timur, profesi yang digelutinya juga menjadi wartawan. Biasanya kalau sudah terbiasa bekerja di media, ujung-ujungnya juga kembali ke media lagi. Bagai matai rantai yang tak putus. Rudi sudah keliling, berganti media.
Malam minggu kemarin itu, saya ajak Rudi, ngopi-ngopi. Sebetulnya sudah lama ia mengajak ketemuan. Tapi posisinya belum pas. Saya sering di Samarinda. Akhir pekan kemarin coba saya sempatkan bertemu. Banyak yang kita diskusikan. Mulai perkembangan media ke depan hingga isu-isu termutakhir.
Dari sekian panjang obrolan itu, ia cerita ketika mengikuti rapat dengar pendapat (RDP) antara PDAM Balikpapan dengan DPRD Balikpapan. Di kantor dewan itu.
Terkait ini, beritanya sepekan lalu sudah banyak beredar. Termasuk Disway Kaltim juga beberapa kali menayangkan itu. Banyak yang masih jadi pertanyaan. Termasuk soal dividen. Menurut sumber yang dia terima, angkanya terlalu kecil.
Saya jadi teringat. Sehari sebelumnya, baru membayar tagihan air PDAM. Sempat tercenung ketika itu. Karena posisi saya lebih banyak di Samarinda sejak Januari lalu. Tapi, tagihan air rasa-rasanya tidak berubah. Masih di atas Rp 100 ribu per bulan.
Yang membuat kaget karena perbandingan tagihan di Samarinda. Istri saya membayar hanya Rp 20 ribu saja rata-rata per bulan. “Enggak salah itu?”. “Iya, benar. Emang biasa segitu,” kata istri saya.
Menurut logika. Harusnya tagihan air di Samarinda lebih besar. Karena keluarga saya lebih banyak tinggal di Samarinda. Jika dihitung-hitung, posisi saya di Balikpapan setiap bulannya, tidak lebih dari 10 hari. Itupun saya bujangan. Anak istri jarang ikut ke Balikpapan. Apalagi dalam suasana pandemi ini.
Mungkin di Samarinda tarifnya lebih murah. Debit air di Kota Tepian itu melimpah. Ketimbang di Balikpapan yang mengandalkan waduk tadah hujan.
Ini bukan soal tarif. Kita sebagai konsumen, sama sekali tidak tahu berapa pemakaian air selama sebulan. Berapa kubik. Rata-rata tahunya ketika membayar tagihan. Oh sekian. Akhirnya konsumen hanya merata-rata saja. Setiap bulannya. Ketika rata-ratanya naik 50-100 persen, pasti banyak yang protes. Itu yang terjadi belakangan ini.
Kita juga tidak tahu, kapan petugas datang mengecek pemakaian air. Memang pernah melihat. Ada petugas yang mengecek meteran. Dulu sekali. Mencatat. Lalu pergi ke rumah sebelah. Namun, petugas tersebut tidak menginformasikan kepada si “Mpunya” rumah. Pamakaian Anda bulan ini sekian. Sama sekali tidak ada konfirmasi.
Bagaimana jika di rumah tidak ada orang? Sebtulnya bisa dengan cara menempelkan kertas di pintu. Tertulis pemakaian air selama sebulan. Mungkin itu bisa lebih fair dan transparan. Nah, transparansi ini penting, karena saya yakin mayoritas konsumen tidak tahu pemakaian air bulanan mereka. Yang mereka tahu tagihannya naik atau turun.
Kemudian Rudi cerita begini: dalam RDP yang dia ikuti itu, ada anggaran bantuan COVID-19 sebesar Rp 11 miliar. Dana tersebut diperuntukkan bagi perlindungan petugas di lapangan. Padahal, sebelumnya PDAM mengaku selama wabah merajalela, petugas pengecekan tidak turun. Nah, anggaran tersebut hingga ketika itu, belum digunakan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: