Dekolonialisasi dan Masa Depan Konflik Palestina-Israel
Jakarta, Nomordatukaltim.com - Rencana pendudukan paksa Israel di Tepi Barat pada tahun ini memaksa komunitas internasional memikirkan kembali masa depan resolusi konflik Israel dan Palestina.
Pasalnya, Perjanjian Oslo yang disepakati dua pihak pada 1993 dan menjadi salah satu landasan pembahasan resolusi konflik kerap dilanggar oleh Israel dan tidak memberi otonomi penuh terhadap Palestina sebagai bangsa dan negara merdeka.
Sejauh ini, Israel mengandalkan rancangan perundingan damai yang diusulkan sekutu utamanya, Amerika Serikat (AS), pada tahun lalu. Namun, isi draf itu dinilai terlalu berpihak pada Israel. Sehingga para pemimpin Palestina menolak turut serta membahas rancangan resolusi damai tersebut.
Berkaca pada perundingan sejak 1960/1970-an, pembahasan terpusat pada pembentukan bentuk negara yang ideal, khususnya terkait dengan opsi solusi satu negara (one-state solution) atau opsi dua negara (two-state solution).
Di samping itu, perundingan juga membahas pembagian wilayah dan pengelolaan sumber daya di wilayah pendudukan: Tepi Barat, Yerusalem Timur, dan Jalur Gaza. Namun sebagian besar usulan yang diajukan diyakini terlalu berpihak pada Israel dan mengerdilkan posisi Palestina.
Di tengah negosiasi yang mandek, Israel membangun permukiman ilegal di Tepi Barat, membangun jalan raya yang menghubungkan permukiman dengan wilayah selatan Yerusalem, bahkan memindahkan ibu kotanya dari Tel Aviv ke Yerusalem. Pemindahan ibu kota secara sepihak itu ditentang banyak negara. Tetapi diakui oleh AS dan Australia.
Langkah-langkah tersebut membuat banyak pihak pesimis terhadap opsi pembentukan Israel dan Paletsina sebagai dua negara terpisah dapat terwujud. Mengingat dua pihak tidak dalam posisi yang setara.
Walaupun demikian, sejumlah pemimpin negara di Mesir, Prancis, Jerman, dan Yordania pada bulan ini menyampaikan pentingnya memperbarui kembali negosiasi antara Israel dan Otorita Palestina (PA). Mengingat hubungan keduanya memburuk setelah rencana aneksasi.
Namun adanya perundingan baru kemungkinan hanya akan mengulang kebuntuan yang sama jika akar masalah konflik Israel-Palestina tidak ditempatkan sesuai dengan konteks dan para juru runding tidak memberi porsi setara untuk masing-masing pihak.
REALITA SAAT INI
Terlepas dari perdebatan solusi satu negara versus dua negara, rakyat Palestina di wilayah pendudukan telah menjalani hidup di bawah sistem satu negara yang didominasi oleh Israel. Demikian kata aktivis muda asal Palestina Salem Barahmeh yang juga Direktur Eksekutif Palestine Institute for Public Diplomacy.
Israel, menurut Barahmeh, telah mengontrol nyaris seluruh tanah, air, dan udara di wilayah pendudukan. Otoritas di Israel juga mengontrol kebebasan masyarakat Palestina dan menghalangi pemenuhan terhadap hak dasar warga. Seperti berekspresi, berpendapat, dan berpindah tempat. Ia menyampaikan diskriminasi karena alasan etnis-nasional merupakan kenyataan sehari-hari yang masih dialami rakyat Palestina.
Oleh karena itu, ia berpendapat, resolusi konflik Israel-Palestina bukan pada penentuan bentuk negara yang ideal. Namun, Israel harus menghentikan seluruh praktik penjajahan/kolonialiasasi dan diskriminasi berdasarkan identitas etnis-nasional terhadap rakyat Palestina.
Upaya penghentian itu, disebut juga dengan dekolonialiasasi, menjadi pintu masuk perundingan dua pihak yang lebih setara antara Palestina dan Israel.
“Jika Anda pergi ke Tepi Barat dan bertanya kepada orang Palestina: ‘Apa yang kalian inginkan?’ Mereka akan menjawab: ‘Kami hanya ingin kebebasan dan pemenuhan hak-hak mendasar,’” kata Barahmeh saat menjawab pertanyaan mengenai masa depan yang dikehendaki rakyat Palestina dalam sebuah diskusi virtual dengan Foundation for Middle East Peace minggu ini.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: