Dekolonialisasi dan Masa Depan Konflik Palestina-Israel

Dekolonialisasi dan Masa Depan Konflik Palestina-Israel

DEKOLONIALISASI

Aktivis, akademisi, dan kolumnis Palestina, Yara Hawari menjelaskan, perjuangan rakyat Palestina sejak awal merupakan dekolonialisasi dan kemerdekaan. Namun, sejak 1970-an, misi itu perlahan dikerdilkan menjadi sebatas penentuan bentuk negara yang ideal.

“Dahulu, Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) memandang gerakan antikolonialisme dan kemerdekaan sebagai perjuangan yang saling terkait dan mereka menetapkan Israel sebagai rezim kolonial,” kata Hawari, pengamat senior Al-Shabaka, sebuah jaringan intelektual dan masyarakat sipil Palestina.

Menurutnya, upaya memindahkan fokus ke perdebatan mengenai bentuk negara justru “menghancurkan misi dekolonialisasi” yang dikehendaki rakyat Palestina.

Dalam sesi diskusi virtual berjudul Imagining the Way(s) Forward-Part 1 Palestinian Thought Leader, Hawari mengutip pemikiran sebuah artikel ilmiah berjudul Decolonization is not a metaphor “Dekolonialisasi Bukan Metafor” yang ditulis oleh dua akademisi, Eve Tuck dari State University of New York at New Paltz dan K. Wayne Yang dari University of California, San Diego.

“Dekolonialisasi membahas mengenai repatriasi (pengembalian, red.) lahan dan pemulihan kehidupan masyarakat asli. (Dekolonialisasi) ini bukan sebuah metafor untuk tujuan-tujuan lain selain meningkatkan kualitas hidup masyarakat dan pendidikan. Tujuan dekolonialisasi adalah keadilan sosial, cara pikir yang kritis, dan pendekatan yang tidak lagi terpusat pada perspektif penjajah,” tulis Tuck dan Yang sebagaimana disampaikan oleh Hawari.

Beranjak dari pemahaman itu, Hawari menyebutkan, ada tujuan yang riil dari dekolonialisasi: pengembalian kedaulatan rakyat Palestina melalui pemulihan hak-hak mendasar. Termasuk pengembalian akses terhadap tanah, air, dan sumber daya lain yang menjadi lahan penghidupan masyarakat.

Namun, tuntutan dekolonialisasi bukan sesuatu yang mudah untuk dibicarakan di meja runding. Apalagi jika penengahnya merupakan sekutu dekat salah satu pihak.

Oleh karena itu, komunitas internasional, termasuk Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Dewan Keamanan PBB, organisasi di kawasan seperti Liga Arab, dan Organisasi Kerja Sama Islam, seharusnya menjadi kelompok-kelompok yang lebih berperan untuk mengupayakan resolusi konflik Israel-Palestina yang lebih berkeadilan. Artinya, siapa pun yang akan menjadi penengah, harus berpihak bukan pada salah satu negara. Melainkan pada prinsip-prinsip kesetaraan, keadilan, dan kemanusiaan. (an/qn)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: