Co-Firing di PLTU Teluk Balikpapan, Transisi Energi atau Ancaman Ekologi?

Jumat 08-11-2024,11:59 WIB
Reporter : Salsabila
Editor : Hariadi


Peta situasi spasial di Teluk Balikpapan, Kalimantan Timur.-(Foto/ Istimewa)-

Kerja Sama DLH dan PLN Temui Titik Buntu

Pada tahun 2022, Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Balikpapan bekerja sama dengan PLN untuk mengolah sampah organik, terutama potongan kayu dari hasil pemangkasan dan dahan pohon, menjadi bahan bakar jumputan padat. 

Bahan bakar ini kemudian digunakan sebagai campuran batubara untuk mendukung program energi baru terbarukan di PLTU Teluk Balikpapan. 

Tujuan utama dari kerja sama ini adalah untuk mengurangi volume sampah kota secara signifikan, sekaligus mendukung transisi energi bersih yang diharapkan dapat mengurangi ketergantungan terhadap bahan bakar fosil.

Namun, pelaksanaan kerja sama ini menemui berbagai kendala di lapangan, terutama terkait aspek finansial. 

Menurut Sudirman dari DLH Kota Balikpapan, meskipun pengolahan sampah organik menjadi bahan bakar alternatif ini memberikan nilai tambah, harga beli yang ditetapkan PLN untuk bahan bakar jumputan padat sangat rendah, yaitu hanya sekitar 500 rupiah per kilogram. 

“Harga yang mereka beli memang tidak sebanding dengan biaya operasional yang harus kami keluarkan. Biaya tenaga kerja, listrik untuk mesin, dan bahan bakar itu semua membutuhkan anggaran yang cukup besar,” jelasnya.

Sudirman menambahkan bahwa dengan harga beli saat ini, pemerintah kota harus menanggung selisih yang cukup besar, yaitu sekitar 10 juta rupiah per bulan, atau mencapai 120 juta rupiah per tahun. 

“Kalau kita lihat, biayanya lebih tinggi daripada pendapatan dari hasil penjualan bahan bakar ke PLN. Jadi bisa dibilang kami nombok," ujarnya. 

Kondisi ini menjadikan pemerintah kota menghadapi beban finansial tambahan dalam menjalankan program pengolahan sampah ini.

Melihat situasi tersebut, pada awal tahun 2024, pemerintah melibatkan pihak ketiga dalam proses pengolahan sampah.

Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) atau pihak ketiga ini membantu pengelolaan sampah organik dengan menggunakan alat dan tenaga mereka sendiri, sehingga mengurangi beban biaya operasional yang sebelumnya ditanggung sepenuhnya oleh pemerintah. 

Menurut Sudirman, pihak ketiga ini mampu mengolah sekitar satu ton sampah organik per hari. 

“Dengan adanya pihak ketiga, beban operasional pemerintah bisa berkurang cukup signifikan,” jelas Sudirman. 

Keberadaan pihak ketiga ini memberikan angin segar bagi pemerintah kota karena pengolahan sampah organik dapat terus berjalan tanpa membebani anggaran daerah.

Namun, kolaborasi ini tidak sepenuhnya tanpa kendala. Dalam beberapa kali diskusi dan pertemuan dengan PLN, pihak pemerintah kota menyampaikan bahwa aspek harga masih menjadi tantangan besar. 

Kategori :