Seharusnya, penyusunan kebijakan energi ini mengutamakan prinsip partisipatif dengan proses-proses Free, Prior, and Informed Consent (FPIC), di mana publik diajak untuk terlibat dalam pengambilan keputusan melalui penelitian dan konsultasi yang lebih luas.
Implementasi co-firing sejauh ini juga masih menghadapi masalah dalam pemenuhan bahan baku biomassa.
Karena kurangnya sumber bahan baku yang stabil, PLN mulai mempertimbangkan berbagai alternatif, termasuk penggunaan lahan tidur.
Namun, pemanfaatan lahan ini harus sesuai dengan tata ruang dan prinsip-prinsip konservasi lingkungan, seperti perlindungan sumber air dan tanah.
Potensi ancaman ekologi dari program co-firing ini dikhawatirkan akan menimbulkan masalah baru di sektor lingkungan, misalnya risiko alih fungsi ruang terbuka hijau (RTH) untuk memenuhi kebutuhan bahan baku biomassa.
Anggi juga menyebut adanya kekhawatiran akan potensi alih fungsi lahan mangrove di kawasan Teluk Balikpapan, yang memiliki peran penting dalam ekosistem pesisir.
Program ini, jika dilaksanakan tanpa evaluasi yang matang dan monitoring yang intensif, dapat mengancam keberlanjutan ekosistem lokal di Balikpapan.
Secara keseluruhan, kurangnya koordinasi antara PLN dan pemerintah daerah, ditambah dengan pelaksanaan yang belum optimal, membuat program co-firing ini menghadapi banyak tantangan di lapangan.
Anggi menyarankan agar kebijakan energi yang melibatkan pemanfaatan biomassa dilakukan melalui pendekatan yang lebih berkelanjutan, melibatkan berbagai pihak secara aktif, serta mempertimbangkan kapasitas daerah agar hasilnya tidak hanya sekadar memenuhi target bauran energi.
“Tetapi juga menjaga keseimbangan lingkungan dan keberlanjutan sumber daya alam di Kalimantan Timur,” tutupnya.