Co-Firing di PLTU Teluk Balikpapan, Transisi Energi atau Ancaman Ekologi?

Jumat 08-11-2024,11:59 WIB
Reporter : Salsabila
Editor : Hariadi

Dilanjutkan Agus, pemanfaatan kayu limbah di masyarakat juga belum sepenuhnya tersosialisasikan dengan baik. Masih banyak warga yang belum mengetahui bahwa semua jenis kayu tebangan dapat diolah sebagai biomassa. 

Selain itu, rendahnya harga beli dari PLTU menjadi faktor lain yang menyebabkan keterbatasan suplai dari masyarakat. 

Ia juga menjelaskan bahwa penjualan kayu ke PLTU memerlukan standar tertentu yang hanya bisa dipenuhi oleh perusahaan resmi, sehingga masyarakat tidak bisa langsung menjual kayu ke PLTU.

KSM memiliki lokasi di Teritip dan Kilometer 26 sebagai pusat kegiatan pengolahan biomassa. Saat ini, mereka bekerja sama dengan PLN, PLTU, dan Dinas Lingkungan Hidup (DLH) untuk menjalankan program pemberdayaan. 

Salah satu program yang sedang dikembangkan adalah pemanfaatan lahan tidur untuk menanam tanaman energi seperti Indigofera dan Lamtoro, yang dapat diolah menjadi biomassa. 

Program ini masih dalam tahap identifikasi lahan-lahan tidur di Balikpapan dan sekitarnya, termasuk wilayah Penajam Paser Utara (PPU) dan Kutai Kartanegara (Kukar) yang dekat dengan Samboja.

Agus juga mengajak masyarakat untuk memanfaatkan kayu limbah tanpa harus membakarnya. 

“Kami menawarkan opsi agar masyarakat membawa kayu limbah tersebut ke TPA untuk diolah, dan KSM akan membelinya dengan harga yang layak,” tutupnya.



Nelayan mengaku area tangkap ikan mereka kian menyempit di Teluk Balikpapan. -(Disway Kaltim/ Salsa)-

Permasalahan Ekonomi dan Lingkungan

Dampak lingkungan dari aktivitas PLTU yang masih dominan menggunakan batu bara juga menjadi perhatian. 

Di tengah desiran ombak dan riuhnya kehidupan pesisir, nelayan-nelayan di Teluk Balikpapan kini menghadapi tantangan yang semakin berat. 

Kehadiran perusahaan-perusahaan besar seperti PLTU Co-Firing Teluk Balikpapan, Petrosea, dan BCT tidak hanya mengubah wajah lingkungan, tetapi juga mengancam keberlangsungan hidup mereka. 

Bilal, salah seorang nelayan, merasakan dampak langsung dari aktivitas perusahaan-perusahaan ini.

"Kami hanya diberi jarak 100 meter dari jeti perusahaan. Jika itu yang ditetapkan, kami mau ke mana?" keluh Bilal dengan nada pasrah. 

Jarak tersebut seakan mengurung mereka dalam area yang semakin menyempit, membuat aktivitas menangkap ikan menjadi semakin sulit. 

Ia merasa bahwa semua perusahaan yang beroperasi di sekitar mereka memiliki dampak yang signifikan terhadap hasil tangkapan nelayan.

Kategori :