Co-Firing di PLTU Teluk Balikpapan, Transisi Energi atau Ancaman Ekologi?

Jumat 08-11-2024,11:59 WIB
Reporter : Salsabila
Editor : Hariadi

Meskipun PLTU Co-Firing menggunakan campuran biomassa dari limbah kayu, sebagian besar bahan baku yang diandalkan tetap batu bara. Ini menjadi sumber keprihatinan bagi Bilal dan rekan-rekannya. 

Setiap hari, mereka harus menghirup asap pembakaran dan debu batu bara yang melayang dari cerobong asap PLTU. 

“Debu itu dari boiler yang dibakar, terbang ke udara, dan dibawa angin utara ke sini. Kami hanya bisa pasrah dengan nasib,” katanya.

Bau batu bara yang menyengat seolah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari mereka. Masyarakat pesisir merasa terpaksa untuk tetap beraktivitas, meskipun khawatir dengan dampak polusi yang mengintai. 

“Kalau kami takut dengan baunya, kami tidak bisa beraktivitas di laut. Mau tidak mau, kami harus menerima keadaan ini,” ungkapnya.

Limbah batu bara yang dihasilkan oleh PLTU juga menjadi ancaman serius bagi hasil tangkapan nelayan. Nelayan-nelayan di Teluk Balikpapan, yang berada di ring satu, jelas menjadi pihak yang paling merasakan dampak dari keberadaan perusahaan-perusahaan tersebut.

Bilal mengakui bahwa ia belum mengetahui dengan pasti jarak antara tempat tinggalnya dan perusahaan-perusahaan tersebut, tetapi satu hal yang jelas: nelayan adalah pihak yang merasakan dampak langsung. 

“Ini bukan hanya masalah dari PLTU, tetapi dari semua perusahaan. Jika limbah minyak terlihat jelas, limbah batubara dari PLTU tidak tampak alirannya ke mana,” tegasnya.


Persoalan lain yang dihadapi nelayan adalah debu pembakaran PLTU yang mengancam kesehatan.-(Disway Kaltim/ Salsa)-

Minim Dukungan Pemerintah Daerah

Implementasi kebijakan Co-Firing di PLTU Teluk Balikpapan juga dihadapkan pada minimnya dukungan dari pemerintah daerah. 

Anggi dari Forest Watch Indonesia (FWI) menegaskan, program ini berjalan secara top-down dari PLN tanpa keterlibatan pemerintah setempat dalam pengawasan dan mitigasi dampak lingkungan.

Hal ini menimbulkan kekhawatiran terkait kesiapan mitigasi risiko, terutama dalam pengawasan lingkungan dan keamanan operasional.

Selain itu, koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah dalam kebijakan energi ini terlihat kurang harmonis dan tidak terintegrasi, berdampak pada ketidaksesuaian antara kebijakan pusat dan kebutuhan atau kesiapan di daerah. 

Misalnya, pemerintah daerah belum memiliki regulasi dan perangkat yang cukup untuk menangani aspek pemantauan lingkungan, seperti Rencana Kelola Lingkungan (RKL), Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL), dan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL).

“Sejalan dengan target PLN untuk mencapai bauran energi hingga 5-10 persen dari biomassa di 52 PLTU pada tahun 2025, co-firing tampaknya dicanangkan secara ambisius,” ujarnya.

Kendati demikian, Anggi menilai bahwa program ini terkesan dipaksakan tanpa memperhitungkan kesiapan sumber daya manusia, kemampuan pemerintah daerah, maupun kesiapan perangkat kebijakan di tingkat lokal. 

Kategori :