SAMARINDA, NOMORSATUKALTIM- Sengketa Pilkada Kukar 2024 di Pengadilan Tata Usaha Negara (PT TUN) Banjarmasin, Kamis 17 Oktober 2025 malam turut menghadirkan sejumlah tim ahli.
Salah satunya Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Unmul Herdiansyah Hamzah. Ia menyampaikan keterangan terkait Perkara Nomor 7/G/PILKADA/2024/PT.TUN.BJM.
Berikut penjelasan resmi pakar ahli Herdiansyah Hamzah:
Masa jabatan seorang kepala daerah, mulai dihitung sejak saat “pelantikan”. Hal ini disebutkan secara eksplisit, setidaknya dalam 2 norma hukum, yakni : Pertama, ketentuan Pasal 162 ayat (2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang (UU Pilkada), yang menyebutkan bahwa, “Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota memegang jabatan selama 5 (lima) tahun terhitung sejak tanggal pelantikan dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama hanya untuk 1 (satu) kali masa jabatan”. Kedua, ketentuan Pasal 60 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, yang menyebutkan bahwa, “Masa jabatan kepala daerah adalah selama 5 (lima) tahun terhitung sejak pelantikan dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan”.
Oleh karena itu, sebelum kepala daerah memangku jabatannya, terlebih dahulu harus dilantik dan diambil sumpah/janji. Persoalan kemudian muncul kembali dalam hal pencalonan kepala daerah dan wakil kepala daerah, dimana dalam ketentuan Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 8 Tahun 2024 Tentang Pencalonan Gubernur Dan Wakil Gubernur, Bupati Dan Wakil Bupati, Serta Walikota Dan Wakil Walikota (PKPU Nomor 8 Tahun 2024), dimana perhitungan periode masa jabatan dimulai sejak saat pelantikan. Dalam ketentuan Pasal 19 huruf e PKPU Nomor 8 tahun 2024, menyebutksan secara eksplisit bahwa, “penghitungan masa jabatan dilakukan sejak pelantikan”. Bagaimana sesungguhnya tafsir norma tersebut? Apakah frase “pelantikan” itu bermakna hitungan masa jabatan hanya berlaku terhadap jabatan-jabatan yang melalui proses pelantikan? Dan apakah jabatan-jabatan yang hanya melalui proses “pengukuhan”, tidak termasuk dalam periodesasi atau perhitungan masa jabatan? Keterangan ini hendak menjawab pertanyaan ini.
BACA JUGA:Realisasi Investasi Kaltim September Baru Rp 55 Triliun, Yakin Capai Target Rp 76 T Akhir Tahun?
Memahami makna “Pelantikan”
Ada 2 pertanyaan yang mesti dijawab untuk melekatkan konteks terhadap pelantikan kepala daerah ini. Pertama, apa makna pelantikan bagi kepala daerah? Dan Kedua, apa akibat hukum dari pelantikan kepala daerah ini?
Kita bahas mengenai makna pelantikan terlebih dahulu agar kita semua punya kesamaan pandangan terhadapnya. Secara etimologi, pelantikan dipahami sebagai proses, cara, perbuatan melantik. Dimana melantik sendiri didefinisikan sebagai perbuatan untuk mengangkat (biasanya dengan mengucapkan sumpah dalam sebuah upacara); meresmikan.
Dalam black law dictionary, pelantikan dimaknai sebagai upacara formal melantik seseorang untuk menjabat; upacara formal memperkenalkan sesuatu untuk kepentingan umum; permulaan formal suatu periode waktu atau tindakan.
Sementara dalam cambridge dictionary, pelantikan diartikan sebagai tindakan resmi menempatkan seseorang pada posisi penting, atau upacara di mana hal ini dilakukan; tindakan sesuatu yang resmi mulai digunakan, yang menandi awal periode. Dalam beragam referensi, pelantikan selalu berkaitan dengan 2 hal, yakni : Pertama, pelantikan pertanda terjadinya proses peralihan kekuasaan dari pejabat yang lama kepada pejabat yang baru. Kedua, peralihan kekuasaan ini bermakna pejabat yang baru telah memulai menjalankan kekuasaannya. Legitimasi diperoleh berdasarkan peristiwa hukum yang disebut sebagai “pelantikan” ini.
Pada dasarnya, dalam sistem kekuasaan pemerintahan kita, hanya Kepala Daerah definitif, Wakil Kepala Daerah definitif, dan Penjabat Kepala Daerah yang dilantik sebelum menduduki jabatannya.
BACA JUGA:Putusan Sela PTTUN Tolak Intervensi Paslon 01 dan 02 dalam Sengketa Pilkada Kukar
Hal ini ditegaskan dalam beberapa ketentuan. Pertama, dalam Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2016 tentang Tata Cara Pelantikan Guberbur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota. Kedua, Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2013 Tentang Tata Cara Pelantikan Kepala Daerah Dan/Atau Wakil Kepala Daerah. Kedua regulasi ini hanya mengatur pelantikan kepala daerah dan wakil kepala definitif, serta penjabat (Pj) kepala daerah, tidak mengatur pelantikan bagi pelaksana tugas (Plt), Pelaksana harian (Plh), dan Penjabat sementara (Pjs). Hal ini dikarenakan tidak adanya penyerahan kekuasaan yang ditandai perlihan dari pejabat yang lama kepada pejabat yang baru.